maka bakarlah aku dengan neraka-Mu.
Dan jika aku beribadah kepada Engkau karena harap akan masuk surga, maka haramkanlah aku daripadanya!
Tetapi jika aku beribadah kepada Engkau hanya karena semata-mata karena kecintaanku kepada-Mu,
maka janganlah, Ya Illahi, Engkau haramkan aku melihat keindahanmu yang azali." - Rabiah Al Adawiyah
Pertama kali mendengar tentang Rabiah Al Adawiyah di madrasah, aku terkagum-kagum pada sosoknya yang sebegitu mencintai Allah sehingga tidak menikah. Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa saking cintanya beliau kepada Allah, beliau menyibukkan diri dengan beribadah kepada Allah siang dan malam sehingga tidak lagi memikirkan soal pernikahan. Padahal, banyak orang-orang terkemuka pada masa itu yang hendak meminang Rabiah.
Beliau berkata, "Bagaimana aku bisa hidup tenang, jika aku tidak tau ketika aku mati, apakah aku akan membawa iman bersamaku? Apakah buku amalku akan diletakkan di tangan kanan atau kiriku? Dan kemanakah tempatku setelah hari hisab nanti?". Di satu titik itu, aku sangat mengagumi beliau karena kecintaan beliau yang besar terhadap Ilahi.
Akan tetapi, masih ada satu hal di pikiranku yang masih jauh 'maqamnya (atau kedudukannya)' dari beliau : aku enggan menikah karena takut. Sejujurnya aku tidak mau merepotkan orang lain (yang mungkin nantinya aku sebut suami) dengan diriku yang aku sendiri kerepotan menghadapinya. Diri yang paling tidak dua atau tiga hari sekali menangis tanpa sebab, entah karena teringat hantu dari masa lalu ataupun merasa diri ini belum berguna.
Belum lagi ketika nanti punya anak, aku takut bahwa aku tidak bisa menjaga amanah besar dari Allah. Kita tidak pernah tau perkataan kita bagian mana yang akan menyakitkan hati anak kita, membuat dia tumbuh dewasa membawa duri yang kita tancapkan sendiri kepada dirinya.
Aku jadi teringat suatu masa ketika kuliah, aku berdiskusi dengan teman yang aku rasa cukup baik ilmu agamanya. Aku bertanya; "Kira-kira, bisa ngga di masa sekarang, aku hidup seperti Rabiah Al Adawiyah, yaitu hidup dengan tidak menikah?"
Dia menjawab, "Kembali lagi ke dirimu, apakah kamu merasa sudah sesholihah Rabiah? Apakah intensitasmu mendekatkan diri pada Allah sudah sebaik dan sebanyak beliau?"
Ah iya, untuk mencapai maqam Rabiah Al Adawiyah, aku harus terus berusaha untuk mendekatkan diri pada Allah sebanyak dan sebaik beliau. Mungkin poin itu yang masih harus terus ku ulangi di kepala dan hatiku.
Bismillah, tunjukanlah hamba jalan yang terbaik, ya Rabb.