Membosankan, kelas tambahan Mr Jack sore itu sama seperti
hari-hari biasa. Mr Jack di depan membahas soal-soal yang tipenya sama seperti
hari-hari sebelumnya. Ujian akhir dan ujian masuk universitas akan datang
sebentar lagi, maka dari itu mungkin kejenuhan belajar sudah berada di
ubun-ubun setiap murid karena setiap hari harus menghadapi soal yang sama
jenisnya. Di barisan bangku belakang, teman-teman mulai berbisik-bisik membahas
hal yang tidak berkaitan dengan pelajaran. Beberapa terlihat melamun. Tetap
saja beberapa murid tetap memperhatikan Mr Jack, termasuk aku.
Mr Jack adalah seorang guru muda yang baru beberapa minggu
berada di sekolah, menggantikan guru kami yang cuti melahirkan. Tak bisa
dipungkiri, wajahnya cukup tampan dan badannya cuk up tegap. Jika kamu bertemu
dia di pusat perbelanjaan, mungkin kamu tidak akan menyangka bahwa ia adalah
seorang guru. Caranya berpakaian sangat rapi, terlihat dari rambut yang selalu
tersisir rapi, kemeja yang selalu terlihat sehabis disetrika, dan sepatu yang
selalu hitam seperti habis disemir. Mr Jack juga selalu wangi, selalu tercium
wangi peppermint disamping wangi parfumnya yang khas.
Tak hanya penampilannya, dari caranya berbicara juga
menunjukan bahwa ia memiliki kharisma yang khas. Nada bicaranya tenang, tidak
terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah. Ia juga memiliki selera humor yang
baik. Terkadang, ketika moodnya sedang baik, ia bisa mengeluarkan berbagai
macam lelucon yang membuat seisi kelas tertawa.
Ia juga baik hati, kepada siapapun, termasuk aku. Sejak
pertama kali masuk kelas, aku mungkin sudah menyukai Mr Jack. Terlebih ketika
ia menyebut namaku dan menanyakan apa novel yang kusukai. “The Phantom of the
Opera”, jawabku. Ia pun tersenyum dan
berkata, aku juga suka novel itu. Sejak saat itu, aku suka berbicara dengan Mr
Jack. Sesekali datang ke ruangannya, yang dulunya adalah ruangan guru kami yang
sedang mengambil cuti, untuk berbincang-bincang mengenai novel. Aku juga
beberapa kali meminjam novelnya.
Apakah aku berharap lebih? Tidak. Aku hanya menganggapnya
sebagai guru yang menyenangkan. Begitu pula mungkin Mr Jack hanya menganggapku
sebagai murid yang menyenangkan untuk diajak bicara. Lagipula, aku sudah
memiliki seorang yang kuperhatikan di kelas, ketua tim basket sekolah. Walaupun
mungkin perasaan ini hanya bertepuk sebelah tangan karena si ketua tim basket
sekolah juga digosipkan dekat dengan temanku seorang ketua tim debat sekaligus
ketua organisasi siswa di sekolah. Tapi bagiku tidak apa, toh, aku menikmati
rasa suka ini.
Kelas sore itu diakhiri oleh pertanyaan Mr Jack. “Menurut
kalian, siapa hipokrit yang paling jujur”
Seisi kelas terheran-heran. Semua berbisik. Beberapa mengerutkan kening seakan sedang memikirkan jawabannya. Kemudian, Mr Jack membuka website berita yang ditayangkan pada proyektor depan kelas. Berita tentang The Slasherhand.
Seorang murid bertanya, “ Mengapa kau bisa berpendapat
seperti itu?”
Mr Jack menaikan alisnya. Kemudian ia tersenyum, “ Well,
karena tidak seperti kebanyakan orang. Ia tidak menyembunyikan sisi jahatnya.
Pun ketika Ia tertangkap suatu hari nanti, mungkin Ia tidak akan mengelak dan
mengakui kejahatannya”
The Slasherhand, julukan bagi penjahat kriminal yang
akhir-akhir ini menewaskan beberapa orang dengan cara yang tidak pantas, yaitu
dengan menyayat leher korban secara horizontal. Tidak ditemukan adanya bekas
penganiayaan dan perkosaan pada tubuh korban. Anehnya juga, tidak ditemukan
bukti-bukti yang membawa penyidik kepada sosok asli The Slasherhand. Korban
juga tidak ditemukan memiliki hubungan satu sama lain, seakan The Slasherhand
memilih korbannya secara acak. Sejauh ini, sudah ada sekitar 12 korban yang
semuanya berjenis kelamin perempuan dengan usia sekitar 17-23 tahun.
Diperkirakan kematian korban pada waktu sore menjelang malam, dan ditemukan keesokan
paginya.
Bel pun berbunyi. Murid-murid merapikan tasnya dan keluar
satu persatu. Mr Jack duduk sejenak di kursinya dan terlihat menuliskan
beberapa hal. Sambil membawa tasku, aku menghampiri Mr Jack.
“Mr Jack, aku ingin mengembalikan novel yang aku pinjam
tempo hari”
Mr Jack menoleh, “Ya, tentu. Kamu mau menaruhnya di ruangan
saya?”
“Baiklah”, kataku sambil mengangguk. Aku kemudian keluar
kelas menuju ruangan Mr Jack.
Sekolah sudah sepi di sore hari. Hanya ada beberapa orang
yang sedang berlatih basket di lapangan basket indoor. Sisanya hanya koridor
kosong. Waktu sudah menunjukan bahwa sebentar lagi akan datang malam hari.
Aku memasuki ruangan Mr Jack. Ruangan ini disusun kembali
oleh Mr Jack sehingga terlihat sangat rapi. Saking rapi dan bersihnya, seakan
terlihat tidak ada debu setitikpun. Novel-novel milik Mr Jack tersusun rapi
berdasarkan abjad penulis dan tahun terbit novel. Di samping meja Mr Jack, ada
sebuah lemari kecil. Setiap memasuki ruangan Mr Jack, aku selalu penasaran
dengan isi lemari itu karena sebelum Mr Jack datang, lemari itu tidak pernah
ada.
Setelah aku menaruh novel di rak buku, aku tergoda untuk
mengintip isi lemari itu. Aku menarik gagang lemari, ternyata tidak terkunci.
Bau klorit bercampur dengan peppermint menguai ke udara. Ada map abu-abu serta
tas ransel berwarna hitam di dalamnya. Ketika aku tergoda untuk membuka kedua
hal itu, hati kecilku berkata ini bukan hal yang baik untuk dilakukan.
Tiba-tiba lampu ruangan mati. Aku terkejut. Detak jantungku
meningkat dan napasku terengah-engah. Aku mulai mencari saklar lampu di samping
pintu. Aku menekan saklar tersebut. Sial, tidak menyala. Aku mencoba menekan
tombol saklar berkali-kali, tetap tidak menyala. Hingga kuputuskan untuk keluar
dari ruangan, ternyata di depan ruangan sudah ada seseorang yang menungguku, Mr
Jack!
Dengan senyumnya, Mr Jack menatapku. Senyumannya kali ini
berbeda, seperti senyuman macan yang sudah menemukan mangsanya. Detak jantungku
semakin cepat. Aku pun berlari meninggalkan koridor dan sekolah.
Hingga sampai pada ujung blok sekolah. Sekolahku berada di
ujung kota sehingga kendaraan yang berlalu lalang tidak banyak. Gedungpun
banyak yang ditinggalkan karena berbisnis di daerah itu tidak mendatangkan
banyak keuntungan.
Oh, tidak. Aku lupa kalau bis sudah tidak melewati jalan di
ujung blok sekolah pada waktu seperti ini, sehingga aku harus berjalan beberapa
blok lagi hingga menemukan jalan raya. Tapi aku sudah tidak kuat berlari lagi.
Dengan napas terengah-engah, aku berhenti sejenak. Semburat
merah sudah menanti di ujung horizon hendak memadamkan cahayanya. Angin malam
mulai mengudara. Dari arah belakang, aku menghirup wangi yang tak asing lagi,
wangi peppermint. Aku menoleh ke belakang. Ada sesosok bayangan tegap yang
membawa sebilah pisau besar berjalan ke arahku. Aku membelalakan mata.
Dengan
mengumpulkan sisa- sisa kekuatan, aku berlari terus menyusuri beberapa blok.
Karena panik, aku tersadar bahwa aku berada pada sebuah
jalan buntu. Tidak ada lagi tempat berlari maupun sembunyi. Wangi peppermint terus
membuntuti, semakin dekat. Dengan segala kepanikan dan kebingungan, air mataku
mulai menetes. Dari ujung jalan, mulai jelas terlihat sosok bayangan yang
mengejarku, dengan senyumnya yang menawan dan mengerikan.
Mungkin akulah korban selanjutnya.
Catatan :
Cerita ini terinspirasi dari mimpi buruk yang aku alami, dengan beberapa perubahan. Tapi yang bagian dikejar-kejar itu benar adanya. Saking nyatanya, saat terbangun aku masih merasakan detak jantung yang meningkat.
Kalau mau dihubungkan dengan teori dari Sigmund Freud, mungkin aku memiliki kecemasan akan suatu hal yang aku tekan (repression) sampai masuk ke alam bawah sadarku, kemudian kecemasan itu muncul dalam bentuk mimpi yang mengejar-ngejarku.
Alhamdulillah lah ya, dari mimpi bisa produktif menghasilkan cerita. Lain kali mungkin kalau mimpi, aku bikin cerita lagi.
Tapi semoga mimpi selanjutnya adalah mimpi yang indah.