Minggu, 20 November 2016

Hai Dirimu! (Aku juga penulis fiktif)

Hai dirimu!

Apakah kau masih disana dengan segala kelebihan dan kekuranganmu?

Sulit sekali bagi diri ini untuk tidak menyapamu ketika rindu sedemikian hebatnya mengganggu. Tenang, ku sudah terbiasa. Bagiku ini seperti santapan sehari-hari.

Apakah kamu merasa bahwa "kamu" yang ku tulis adalah dirimu. Oh, kamu merasa?

Maaf, mungkin dirimu yang aku maksud bukanlah dirimu, setidaknya bukan dirimu dalam dunia nyata. Kau tahu, kan, ku juga penulis fiktif yang senang berimajinasi.

Pernah ku berimajinasi mengakhiri cerita kita dengan akhir yang bahagia. Ketika kamu dan aku, kita hidup bersama dengan anak-anak kita, melihat mereka tumbuh besar dan bahagia.

Pernah ku berimajinasi mengakhiri cerita kita dengan akhir yang memilukan hati. Ceritanya memiliki plot yang beraneka ragam. Bisa karena aku meninggalkan dunia terlebih dahulu, kamu meninggalkan dunia terlebih dahulu, hubungan yang tidak direstui orang tua, atau bahkan kamu sama sekali tidak pernah menghubungiku lagi sehingga hatiku berpaling pada laki-laki lain.

Mungkin yang terakhir yang lebih mirip dengan kisah nyata yang kita alami.

Toh, ini hanya fiktif, hanya imajinasi. Kenyataannya bisa berbagai macam kemungkinan yang terjadi.

Itu semua bergantung padamu. Karena aku masih disini, menunggu.
Sambil menulis kisah-kisah fiktif tentang kita yang memiliki banyak kemungkinan jalan cerita.

Senin, 14 November 2016

Hai Dirimu! (dan Semoga yang Terakhir)

Hai, dirimu!

Maaf ya hanya bisa mengungkapkan ini lewat tulisan di sosial media. Tahukah kamu aku sudah lama berusaha bilang padamu, tapi untung saja kesadaran pikiran ini masih berjalan dengan baik sehingga aku mengurungkan niatku untuk berbicara padamu. Mungkin akan lebih baik jika kita terus berjalan seperti ini,tanpa ada yang berubah.

Tahukah kamu, semalam aku bermimpi kamu (lagi). Sama dengan mimpi sebelumnya, kamu tersenyum. Akan tetapi senyummu kali ini berbeda. Di mimpi kali ini, aku meninggal, jasadku tergeletak, semua orang menangis dan bersedih, tapi kamu tersenyum. Mengapa demikian? Apakah kamu ingin aku pergi? Atau aku yang ingin diriku tau bahwa aku harus pergi?

Tahukah kamu, dalam beberapa waktu ini, aku berusaha untuk membiarkan rasa ini. Aku sudah menyerah dan pasrah akan berakhir seperti apa cerita kita (jika mungkin kita pernah punya cerita). Aku bahkan sudah mengikhlaskan bila pada akhirnya nanti kita tidak bersama. Tapi tetap saja kamu selalu ada, bahkan hanya sekedar muncul di media sosial. Mengapa demikian? Apakah aku masih menyimpan rasa?

Hai, dirimu..

Mungkin aku belum bisa mengucapkan selamat tinggal padamu, walaupun mungkin kamu tidak pernah mengucapkan "Hai" kepadaku.

Semoga ini adalah "Hai" yang terakhir. Karena aku lelah memikirkan seseorang yang mungkin tidak pernah memikirkanku. Aku ingin merasa hidup dan bebas dari rasa cemas karena memikirkan hal yang tidak pasti.

Dan mungkin bila kamu membaca ini, kamu akan merasakan hal yang sama. Jika benar bahwa orang yang kumaksud kamu adalah "kamu".

Opini Mengenai Arti Sebuah Pengabdian


Kehidupan tak lain adalah sebuah pengabdian. Pengabdian pada janjinya, pada keluarga, pada kerabat, pada kebenaran yang dipegangnya, pada kehidupan, dan pada Sang Pencipta”
(Pitoyo Amrih, Perjalanan Sunyi Bisma Dewabrata)

Tulisan ini berawal dari sebuah tragedi (agak lebay) hidupku dimana aku gagal mendapatkan suatu hal yang kuinginkan dari awal aku masuk ke Universitas Indonesia ; menjadi pengajar di salah satu gerakan mengajar di UI

Sedih rasanya, mengingat perjuangan yang kulakukan untuk sampai ke tahap terakhir sebelum akhirnya resmi menjadi pengajar. Apalagi mengingat hal ini merupakan impianku sebagai seorang yang sangat berminat dalam dunia pengabdian. Dalam tulisan ini aku tidak akna membahas kenapa aku tidak diterima menjadi pengajar (yah, walaupun sebenarnya aku sangat penasaran setengah mati). Tapi aku akan menulis sebuah hasil refleksi diri setelah berusaha menerima kegagalan .

Sore itu, setelah mendapatkan informasi bahwa aku tidak lolos, jujur aku kecewa sekali. Iya, aku mengevaluasi diriku mengapa aku tidak lolos. Jika dipikir dari sudut pandangku, aku memiliki cukup pengalaman dalam mengajar dan organisasi, dan juga memiliki motivasi tinggi dalam mengikuti kegiatan tersebut. Mungkin sudut pandang mereka berbeda, sehingga aku tidak layak untuk diloloskan.

Walaupun hati masih merasa sedih, otak mengajak untuk berpikir, "Mau kemana aku setelah ini? Apakah kegagalan ini menjadi suatu akhir bagi pengabdianmu?"

Dan aku jawab, tidak!

Jika memang kita tulus mengabdi, kegagalan seperti ini tidak menyurutkan niat kita untuk mengabdi. Apakah arti dari sebuah pengabdian hanya dinilai kita ketika lolos menjadi pengajar? Tentu tidak! Masih banyak jalan jika memang kita tulus dalam pengabdian. Karena menurutku, ketulusan pengabdian diuji bukan ketika kita merasa senang, akan tetapi ketika kita merasa sedih.

Dan aku sedang merasa sedih, mungkin ini saatnya ketulusanku dalam pengabdian diuji.

Karena pengabdian adalah hidup, dan hidup adalah pengabdian