Kamis, 23 Agustus 2018

Secangkir Kopi Hitam


Malam itu, masih di kafe yang sama, dengan secangkir kopi hitam di atas meja. Suara musik dari pelantang kafe mengalun syahdu beriringan dengan semilir angin yang menyapa di sudut depan lantai dua. Di sudut itu, terlihat pemandangan jalanan Margonda yang ramai, penuh dengan orang-orang berlalu lalang, entah apa yang mereka kejar. Sedangkan aku, entah apa yang aku lakukan disini sendiri. Entah mengerjakan setumpuk tanggung jawab atau sekadar ingin merefleksikan hidup ; mengapa sampai sekarang di atas meja ini hanya ada secangkir kopi?

Sejak kecil, aku terpapar oleh banyak kisah cinta dan romansa. Cerita tentang seorang gadis biasa yang mendapat pertolongan ibu peri untuk pergi ke pesta dansa dan bertemu pangeran, cerita tentang putri duyung yang menukar ekornya demi bertemu dengan seorang pangeran yang ia cintai, ataupun cerita tentang seorang putri yang terbangun setelah mendapatkan ciuman dari seorang pangeran. Tapi ternyata kisah nyata tidak seindah dongeng. Trauma pertamaku akan 'cinta' dimulai ketika aku kecil, ketika aku belum paham apa itu 'cinta'. Sejak saat itu, aku menarik diri untuk mencari apa yang orang-orang sebut dengan 'cinta', atau apapun itu yang disebut sebagai romansa.

Jika ditanya, apakah kamu sesekali ingin merasakan romansa? Maka aku jawab, ya! Aku juga ingin merasakan pembicaraan mendalam tentang hakikat hidup dan masa depan sambil menatap gemintang, atau berbagi mimpi bersama sembari berkendara berdua di jalanan malam yang sepi, atau sekadar berbagi candaan yang tidak penting. Tapi semua bayangan akan romansa itu hilang ketika aku mengingat, bahwa mungkin ini belum saatnya. Aku takut untuk berbuat dzolim, menempatkan perasaanku pada tempat yang tidak semestinya.

Semakin dewasa, aku belajar bahwa mencintai seseorang dan mencari pasangan hidup merupakan sesuatu yang berbeda. Mencari pasangan hidup merupakan salah satu sunah untuk menyempurnakan separuh agama, dan banyak pertimbangan yang harus dilalui pada prosesnya. Dalam riwayat juga disebutkan bahwa ada beberapa pertimbangan untuk memilih calon pasangan, yaitu hartanya, keturunannya, parasnya, dan agamanya, yang merupakan kriteria paling utama. Sedangkan mencintai, manusia tidak bisa memilih kepada siapa manusia akan menjatuhkan cintanya.

Sejujurnya aku adalah seorang yang mudah mencintai. Aku jatuh cinta pada sinar matahari yang perlahan menghilang saat senja, aku jatuh cinta pada senyuman anak kecil ketika kami bermain bersama, maupun jatuh cinta pada bau tanah setelah tersiram air hujan. Bahkan, aku bisa jatuh cinta hanya pada tulisan yang menyentuh kalbu. Entah apakah kemudahan untuk jatuh cinta ini merupakan sebuah anugerah dari Allah atau bukan? Aku anggap saja demikian.

Maka, ketika aku menganggap ini sebuah anugerah, aku hanya bisa menggantungkan harapan dan cintaku pada Allah. Jika Allah Yang Maha Memberi cinta menitipkan cinta ini untuk ku berikan pada orang-orang di sekitarku, maka aku akan berusaha sebaik mungkin untuk menjaga dan mengelola cinta ini, supaya cinta ini tidak tersesat di jalan yang salah. 

Dengan pemikiran seperti ini, ditambah trauma di masa lalu, tidak heran bahwa secangkir kopi itu tetap secangkir. Mungkin kesendirian dan kesepian telah menjadi sahabatku ; aku lebih nyaman bersama mereka. Meskipun jauh di sudut hati, entah di bagian mana, aku berharap bahwa ada cangkir lain di atas meja ini, entah cangkir berisi teh, susu, air putih, ataupun cangkir yang sama-sama berisi kopi.

Akhirnya ku seruput kembali kopi hitam milikku. Ku rasakan kembali pahitnya kopi itu. Ku sadari mungkin ku sudah terbiasa dengan rasa pahitnya.


Karena aku pernah merasakan hidup yang lebih pahit daripada secangkir kopi hitam

Minggu, 19 Agustus 2018

Pohon yang sama

Di pohon itu,

Seorang gadis kecil berayun bahagia,
sambil mendendangkan lagu gembira,

Di pohon yang sama,
beberapa tahun yang lalu,

Seorang gadis remaja meregang nyawa,
karena putus harapannya akan dunia,

tapi gadis kecil itu tetap bermain dengan riangnya, di pohon yang sama..

Ia sendiri tidak tahu.

Selasa, 14 Agustus 2018

Sejenak ke Papandayan

Entah kenapa, setiap perjalanan punya hikmahnya sendiri.

Sekitar bulan Juli lalu, Shofi mengajak kami yang berada di grup multichat alumni SMA  MAN yang berkuliah di UI untuk mengikuti perjalanan mendaki gunung bersama teman-teman alumni lainnya. Sekejap, dengan sepenuh ke"impulsif"an, aku menghubungi Shofi untuk berkata bahwa aku ingin ikut serta, meskipun belum tau hendak ke gunung mana. Alasannya simpel, aku ingin 'kabur' sejenak dari hiruk pikuk kehidupan ibu kota. Aku pun dimasukan ke dalam multichat yang berisi teman-teman yang juga hendak mengikuti perjalanan ini. Kami pun mendiskusikan beberapa hal terkait perencanaan perjalanan, termasuk menentukan gunung mana yang hendak kami daki.

Selalu ada permasalahan yang dihadapi dalam hidup, termasuk dalam merencanakan perjalanan ini. Salah satu masalah yang kami hadapi yaitu dua orang yang biasa menaklukan gunung mengundurkan diri dari perjalanan. Sempat ada keraguan antara aku Shofi dan Caca (teman yang juga berangkat dari Jakarta) akan rencana pendakian ini, dan kemudian kami menyebarkan keraguan kami kepada teman-teman lain. Bahkan kami juga sudah memikirkan beberapa alternatif lain untuk menggantikan perjalanan mendaki gunung. Tapi Allah menakdirkan kami untuk tetap melakukan perjalanan ini. Dan kemudian.....

..dan kemudian sepertinya bukan gayaku untuk menceritakan sebuah peristiwa secara kronologis. Aku terbiasa menuliskan refleksi. Maka, sebagaimana yang aku tuliskan di awal, setiap perjalanan punya hikmahnya sendiri.

termasuk perjalanan ini, 

Perjalanan kali ini membuatku sadar jika kita menginginkan sesuatu, Allah akan membuat kita berusaha terlebih dahulu. Kita ingin sampai ke puncak Papandayan, maka Allah membuat kita berusaha untuk mencapai puncaknya. Mulai dari membuat perencanaan, menetapkan hati untuk mendaki, hingga menguatkan raga supaya bisa sampai puncak. 

Perjalanan kali ini membuatku sadar, bahwa Allah akan memberikan apa yang kita butuhkan, dan juga memudahkannya. Jika sesuai skenario awal, sebenarnya aku harus kembali ke Jakarta pada hari Ahad malam. Tapi Allah tau aku butuh berada lebih lama dalam perjalanan itu, maka Allah memudahkanku untuk memundurkan jadwal kembali ke Jakarta pada Senin malam dengan bantuan beberapa teman (berupa tethering dan pulsa).

Perjalanan kali ini membuatku sadar, bahwa sebenarnya keluarga adalah tempat dimana kita bisa merasa nyaman menjadi diri kita sendiri. Aku merasa nyaman menjadi diriku di tengah-tengah mereka. Aku tidak harus berusaha menjadi seorang yang profesional menghadapi segala beban dan tuntutan. Aku merasa dicintai tanpa syarat oleh mereka. 

Dan semoga akan ada perjalanan-perjalanan lain untuk mengambil hikmah yang lebih banyak lagi. Semoga.





Selasa, 07 Agustus 2018

My 22 year old girl

Inside me,

There is a 70 year old woman dying,
needs a rest from the world,
waiting her time

There is a 17 year old girl rebelling,
needs an unplanned journey,
going anywhere without doubt

There is a 7 year old little girl crying,
needs a toys and affection much,
hoping to be loved

But also,

There is a 22 year old girl fighting,
controlling another selves inside,

So, thanks to my 22 year old girl,
for always keeping me into my sanity.