Senin, 28 Maret 2016

Early Recollection dan Hikmah Masa Lalu

Alhamdulillah, sepertinya masuk jurusan psikologi membawa hikmah tersendiri bagiku.

Hari ini hari pertama diriku dan teman-teman menjalani UTS. Dan hari ini, mata kuliah yang diujikan yaitu Teori Kepribadian Klasik. Salah satu bahasan yang ada didalam mata kuliah tersebut adalah "Individual Psychology" yang diprakarsai oleh Adler. Disitu Adler berpendapat bahwa manusia terlahir lemah, kemudian manusia berusaha menunjukan potensinya. Untuk penjabaran lebih lanjut, mungkin teman-teman bisa membaca buku karya Feist, Feist dan Robert berjudul Theories of Personality.

Yang mau aku sampaikan terkait Adler adalah salah satu istilahnya Early Recollection. Istilah itu menjelaskan tentang memori-memori yang biasanya diingat dan direkonstruksi oleh seseorang. Dikatakan bahwa pasien dengan tingkat kecemasan yang tinggi akan cenderung merekonstruksi ingatan-ingatan yang membuatnya cemas dan ketakutan. Early Recollection tidak menentukan masa depan seseorang, karena Early Recollection seseorang bergantung pada keadaan orang tersebut pada masa sekarang. Bagaimana ia memandang kehidupannya sekarang bisa mempengaruhi Early Recollectionnya.

Mengetahui hal tersebut, aku tersadar. Selama ini mungkin aku cenderung memanggil memori-memoriku yang menyakitkan karena aku menghadapi hidup dengan penuh kecemasan. Mau jadi apa aku? Mau tinggal dimana aku? Mau hidup dengan siapa aku? Aku mencemaskan hal-hal yang seharusnya tidak aku cemaskan.

Ku teringat pesan ibuku tempo hari, yang berisi bahwa ketika kita menaiki pesawat, seringkali kita tidak khawatir akan bahaya karena kita percaya pada pilotnya, Kita percaya bahwa pilot tersebut dapat membawa kita mencapai tujuan kita dengan selamat. Jika begitu, bagaimana bisa kita tidak percaya pada Tuhan yang membawa kita pada kehidupan?

Kini, ku punya satu PR yang besar, yaitu melatih diriku untuk lebih bersyukur atas diriku sekarang, yang dilimpahi dengan rahmat dan nikmat dari-Nya. Ku juga harus bersyukur atas pelajaran berharga yang telah kualami dan tidak merasa cemas lagi, karena masa lalu tidak akan mengubah masa depan.
Masa lalu hanya menjadi langkah bagi kita dalam menjalani kehidupan yang akan datang.

Semoga di kehidupan yang akan datang, kita hidup di kehidupan yang dipenuhi oleh kebahagiaan :)

Minggu, 13 Maret 2016

the Future and the Memory

Kali ini aku benar-benar berpikir.
Bukan berarti aku tidak pernah berpikir sebelumnya, tapi kali ini aku berpikir sampai menangis. Ya, menangis karena aku sangat kebingungan.

Berawal dari pikiran yang terlintas, "mau kemana aku setelah ini?"

Mendengar cerita dari senior, melihat lingkungan sekitar, dan meraba akan seperti apa dunia di masa yang akan datang, ku tak bisa melihat diriku ada di dalamnya.

Aku seperti berada dalam dimensi lain dari hidup yang aku sendiri tidak bisa mengerti ada di sebelah mana dimensi itu dari dunia nyata.

Kau pernah bertemu diriku yang bahagia, dan menebarkan senyum, berusaha memberikan energi positif pada lingkungan sekitar? Mungkin itu diriku yang bahagia, diriku yang aku buat sejak sekitar 5-6 tahun terakhir.

Kau pernah bertemu diriku dengan wajah sendu, mata sembab, dan punggung bongkok seperti menahan beban yang amat berat? Mungkin kau hidup bersamaku di masa lalu, sekitar 6-7 tahun yang lalu.

Kau pernah bertemu diriku dengan semangat yang sangat tinggi, dan emosi yang tidak terkontrol? Mungkin kau adalah teman di masa yang amat sangat lampau.

Untuk memikirkan bagaimana  masa depanku, aku selalu tertarik ke masa lalu. Masa dimana aku ingin ubah namun tak bisa. Memikirkan masa lalu bagiku seperti tidak ada habisnya. Karena setiap nano meter dari memori menyakitkan yang lalu ingin ku hapus.

Namun aku tau aku bodoh jika meyakini itu. Pernah ku bilang pada orang tuaku andaikan aku terkena suatu penyakit yang membuatku lupa, hilang ingatan. Orangtuaku marah seketika itu. Aku mengangis menitikan air mata, mereka menangis dalam diam. Jika ku ingat lagi sekarang, aku tau apa yang aku ucapkan pada saat itu adalah hal yang bodoh, dan aku berharap Tuhan tidak mendengar itu, walaupun aku tau pasti Tuhan dan malaikat-Nya mendengar hal itu.

Melewati lorong waktu yang kubuat membuat seluruh energiku habis. Aku tau hal tersebut sangat tidak berguna, namun ku tidak tau selalu ada gravitasi yang menarik diriku untuk terus masuk dalam lorong itu, walaupun aku tidak mau. Mungkin aku belum berdamai dengan diriku sendiri, dan mungkin ada hal yang belum terselesaikan sehingga aku terus menerus tertarik dalam lorong tersebut.

Sekarang, aku masih berusaha untuk mencari kedamaian dalam diriku, dan terus meyakinkan diriku sendiri bahwa semua yang terjadi pasti berakhir dengan bahagia.

Sekarang, dengan takdir yang aku hadapi, takdir yang membuatku menjadi manusia yang berusaha untuk menjadi manusia yang lebih baik dari hari ke hari, aku ingin berterimakasih.

Terimakasih atas hidup yang indah ini, Tuhan, yang membuatku percaya bahwa setelah setiap jalanan berbatu, selalu ada taman berbunga yang indah dihiasi pelangi membujur dari timur ke barat di ujung jalan sana.

Tuhan selalu punya cara untuk menunjukan kasih sayang-Nya, asalkan manusia percaya.

Dan aku percaya,

aku tidak ingin menangis lagi.



nb ;
Terimakasih sahabat dan keluarga yang telah menemaniku selama ini dengan cinta dan kasih. Semoga kita semua berkumpul kembali dalam kehidupana abadi, karena mungkin disana aku akan kesepian tanpa kalian.

Untuk sahabatku yang pernah bertanya apa arti gengsi, yang tempo hari aku janjikan untuk kutulis di blog tapi tidak bisa kutepati, semoga jawaban yang aku berikan (walaupun lewat jaringan pribadi) menjadi sedikit pencerah. Dan terimakasih atas dukunganmu selama ini, aku tau sahabat, walaupun kamu, dan kalian jauh, kalian akan selalu ada. Terimakasih :)

Selasa, 01 Maret 2016

(Ku Sudah Pernah Mencoba) Melawan Takdir

Seringkali ku berucap kepada seseorang bila ditanya akan masa depan;
"Biar takdir yang berbicara"
"Biar takdir yang menunjukan"

Aku berucap seperti itu bukan tanpa alasan.

Pernah kucoba melawan takdir, sekali dua kali, mempertahankan apa yang ingin aku pertahankan. Akan tetapi, skenario Tuhan berkata lain, membuatku terjebak dalam disorientasi waktu dan ruang, mencoba menerka ujung cerita ini dalam ketakutan yang amat sangat.

Pengalaman sekali dua kali itulah yang membuatku sadar bahwa sekuat apapun keinginan hati kita akan suatu hal, rencana Tuhan selalu akan lebih baik. Ku sudah membuktikannya sekarang, saat ini, jaket kuning mungkin merupakan salah satu contohnya.

Maka dari itu, begitu juga denganmu. Mungkin kamu adalah keinginan hatiku yang ingin kupertahankan. Akan tetapi, aku meyakinkan diriku bahwa rencana-Nya akan jauh lebih baik. Mungkin denganmu, atau tidak denganmu. Tergantung takdir nanti berkata apa. Karena sudah cukup doa untuk memperjuangkanmu, dan aku tidak ingin terus menerus berkubang dalam doa itu, karena siapa tahu ternyata doa yang selama ini kupanjatkan bukanlah berujung padamu, namun pada orang lain yang mungkin namanya saja sekarang aku belum tau.

Aku tidak ingin berdoa, "Ya Tuhan, tolong pertemukan aku dengannya", karena aku tidak tahu nantinya dengan siapa aku bertemu.

Tapi aku ingin berdoa, "Ya Tuhan, bahagiakanlah kami dengan siapapun kami bersama kelak", karena dengan doa seperti itu, aku dan kamu, kita bisa bahagia walaupun tidak bersama.

Walaupun ku berdoa seperti itu, jauh dalam hatiku ku masih mengharapkan bahwa suatu hari kau datang ke rumah orang tuaku untuk menjemputku.

Untuk sekarang ku merasa sedih jika membayangkan pada akhirnya kamu memilih orang lain yang lebih bisa melengkapimu. Meskipun begitu, kali ini aku tidak akan melawan takdir. Karena aku yakin pasti rencana-Nya jauh lebih baik. Dan ku sudah pernah membuktikannya.

Ku sudah pernah mencoba melawan takdir, dan semoga tidak lagi.