Rabu, 05 September 2018

Perjalanan Kereta dan Hikmahnya

Setiap perjalanan memiliki hikmahnya sendiri, termasuk dalam perjalanan Semarang-Jakarta yang cukup rutin ku lakukan dengan kereta.

Dalam sebuah perjalanan, pernah ku duduk dikelilingi sekelompok rekan kerja yang pergi berlibur bersama. Keakraban mereka begitu terasa dari lelucon yang mereka lontarkan satu sama lain. Meski aku satu-satunya orang asing dalam kelompok mereka, tapi aku tidak merasa begitu terasing karena sesekali mereka juga melontarkan lelucon padaku.

Dalam perjalanan yang lain, pernah ku duduk di depan sepasang kekasih. Mereka begitu saling menyayangi, terlihat dari cara mereka menatap satu sama lain diiringi dengan kata cinta yang diselipkan dalam percakapan mereka. Bahkan mereka berpegangan tangan dengan jemari yang bertautan ketika mereka tertidur di kereta. Aku yang sendirian hanya bisa tersenyum melihat tingkah mereka.

Pernah juga, dalam suatu perjalanan, ku duduk di depan seorang ibu tangguh, seorang ibu tunggal yang hendak melihat sidang skripsi anaknya yang berkuliah di Jakarta. Pengalaman yang beliau ceritakan sangat menggambarkan betapa kerasnya perjuangan beliau untuk membukakan jalan kepada anaknya untuk menjadi orang sukses. Pesan beliau kepada ku yang masih ku ingat, "Kamu kalau sudah menginjakan kaki di Jakarta, jangan pernah pulang ke Semarang. Tempaan di Jakarta bisa membuatmu menjadi apa saja, di Semarang hidup tidak ada tantangan.". Mendengar beliau, aku hanya tersenyum mengiyakan, walau dalam hati agak memberontak. Hipokrit memang, diriku ini.

Namun, ada suatu percakapan yang membekas dalam benakku sampai sekarang. Percakapan itu adalah percakapan dengan seorang pria paruh baya yang duduk di depanku dalam perjalanan kereta Semarang-Jakarta saat statusku menjadi mahasiswa tingkat akhir. Beliau bekerja sebagai karyawan pada salah satu perusahaan konstruksi yang ada di Ibu kota, namun sebelumnya, beliau merupakan pekerja lapangan yang sudah berkeliling Indonesia, di antaranya Kalimantan dan Nusa Tenggara. Setelah berbincang basa-basi sepatah dua patah kata, beliau bertanya suatu hal padaku,

"Habis lulus mau ngapain rencananya?"
"Mungkin mau cari pengalaman dulu Pak di Jakarta, mungkin sekitar setahun, setelah itu melanjutkan S2"
"Kenapa harus cari pengalaman di Jakarta?"

Aku mengangkat alis, mencoba memberi kode untuk menjelaskan arti dari pertanyaan yang diajukan oleh beliau. Beliau kemudian menegakkan posisi duduk dari yang tadinya bersandar di kursi, berusaha untuk membuat suasana menjadi serius.

"Iya, kenapa Mbak harus kerja di Jakarta untuk cari pengalaman?"
"Karena menurut saya, Jakarta itu Ibu kota, banyak kesempatan di sana untuk cari pengalaman"


Beliau mengangguk-angguk, kemudian berucap,

"Menurut saya ya Mbak, cari pengalaman itu nggak harus di Jakarta. Mbak bisa cari pengalaman dimanapun, dimanapun! Justru dengan banyaknya pengalaman (selain di Jakarta), Mbak jadi paham, sebenarnya Mbak bekerja untuk apa? Apa pekerjaan yang memang cocok untuk Mbak? Apa nilai dari yang Mbak kerjakan nanti?"

Beliau kemudian menghela napas, "Sekarang ini orang di Jakarta ini kebanyakan cari uang Mbak, mungkin cuma segelintir yang niatnya benar-benar untuk cari pengalaman. Nah, Mbak cari apa ketika kerja di Jakarta nanti?"

Giliran aku yang menghela napas. Kemudian ku balik bertanya, "Terus, Bapak cari apa (ketika) kerja di Jakarta?"

Beliau tersenyum simpul, "Yaa, Saya realistis aja Mbak, keluarga saya butuh uang. Anak saya sekarang mau masuk kuliah. Pekerjaan saya di Jakarta sudah stabil, sedangkan untuk cari kerja di Semarang, perlu mulai lagi dari awal dan uangnya nggak banyak. Kalau rindu keluarga, saya tinggal pulang saja ke Semarang.".

Aku hanya mengangguk mengiyakan, tapi bukan sebuah anggukan yang munafik. Aku juga ikut mencerna ucapan beliau. Mungkin beliau benar, beberapa dari kita yang ada dalam kereta ini adalah orang-orang yang terjebak dalam mimpi yang ditawarkan oleh Ibu kota, orang-orang yang harus mengejar kereta pada hari Jumat hanya untuk sekadar melepas rindu dengan sanak saudara dan kembali mengejar kereta pada hari Minggu untuk kembali bertarung keesokan harinya.

Dan mungkin, beberapa dari kita yang ada di kereta ini juga mempertanyakan hidup kita, sebenarnya apa yang kita cari di Ibu kota?

Kamis, 23 Agustus 2018

Secangkir Kopi Hitam


Malam itu, masih di kafe yang sama, dengan secangkir kopi hitam di atas meja. Suara musik dari pelantang kafe mengalun syahdu beriringan dengan semilir angin yang menyapa di sudut depan lantai dua. Di sudut itu, terlihat pemandangan jalanan Margonda yang ramai, penuh dengan orang-orang berlalu lalang, entah apa yang mereka kejar. Sedangkan aku, entah apa yang aku lakukan disini sendiri. Entah mengerjakan setumpuk tanggung jawab atau sekadar ingin merefleksikan hidup ; mengapa sampai sekarang di atas meja ini hanya ada secangkir kopi?

Sejak kecil, aku terpapar oleh banyak kisah cinta dan romansa. Cerita tentang seorang gadis biasa yang mendapat pertolongan ibu peri untuk pergi ke pesta dansa dan bertemu pangeran, cerita tentang putri duyung yang menukar ekornya demi bertemu dengan seorang pangeran yang ia cintai, ataupun cerita tentang seorang putri yang terbangun setelah mendapatkan ciuman dari seorang pangeran. Tapi ternyata kisah nyata tidak seindah dongeng. Trauma pertamaku akan 'cinta' dimulai ketika aku kecil, ketika aku belum paham apa itu 'cinta'. Sejak saat itu, aku menarik diri untuk mencari apa yang orang-orang sebut dengan 'cinta', atau apapun itu yang disebut sebagai romansa.

Jika ditanya, apakah kamu sesekali ingin merasakan romansa? Maka aku jawab, ya! Aku juga ingin merasakan pembicaraan mendalam tentang hakikat hidup dan masa depan sambil menatap gemintang, atau berbagi mimpi bersama sembari berkendara berdua di jalanan malam yang sepi, atau sekadar berbagi candaan yang tidak penting. Tapi semua bayangan akan romansa itu hilang ketika aku mengingat, bahwa mungkin ini belum saatnya. Aku takut untuk berbuat dzolim, menempatkan perasaanku pada tempat yang tidak semestinya.

Semakin dewasa, aku belajar bahwa mencintai seseorang dan mencari pasangan hidup merupakan sesuatu yang berbeda. Mencari pasangan hidup merupakan salah satu sunah untuk menyempurnakan separuh agama, dan banyak pertimbangan yang harus dilalui pada prosesnya. Dalam riwayat juga disebutkan bahwa ada beberapa pertimbangan untuk memilih calon pasangan, yaitu hartanya, keturunannya, parasnya, dan agamanya, yang merupakan kriteria paling utama. Sedangkan mencintai, manusia tidak bisa memilih kepada siapa manusia akan menjatuhkan cintanya.

Sejujurnya aku adalah seorang yang mudah mencintai. Aku jatuh cinta pada sinar matahari yang perlahan menghilang saat senja, aku jatuh cinta pada senyuman anak kecil ketika kami bermain bersama, maupun jatuh cinta pada bau tanah setelah tersiram air hujan. Bahkan, aku bisa jatuh cinta hanya pada tulisan yang menyentuh kalbu. Entah apakah kemudahan untuk jatuh cinta ini merupakan sebuah anugerah dari Allah atau bukan? Aku anggap saja demikian.

Maka, ketika aku menganggap ini sebuah anugerah, aku hanya bisa menggantungkan harapan dan cintaku pada Allah. Jika Allah Yang Maha Memberi cinta menitipkan cinta ini untuk ku berikan pada orang-orang di sekitarku, maka aku akan berusaha sebaik mungkin untuk menjaga dan mengelola cinta ini, supaya cinta ini tidak tersesat di jalan yang salah. 

Dengan pemikiran seperti ini, ditambah trauma di masa lalu, tidak heran bahwa secangkir kopi itu tetap secangkir. Mungkin kesendirian dan kesepian telah menjadi sahabatku ; aku lebih nyaman bersama mereka. Meskipun jauh di sudut hati, entah di bagian mana, aku berharap bahwa ada cangkir lain di atas meja ini, entah cangkir berisi teh, susu, air putih, ataupun cangkir yang sama-sama berisi kopi.

Akhirnya ku seruput kembali kopi hitam milikku. Ku rasakan kembali pahitnya kopi itu. Ku sadari mungkin ku sudah terbiasa dengan rasa pahitnya.


Karena aku pernah merasakan hidup yang lebih pahit daripada secangkir kopi hitam

Minggu, 19 Agustus 2018

Pohon yang sama

Di pohon itu,

Seorang gadis kecil berayun bahagia,
sambil mendendangkan lagu gembira,

Di pohon yang sama,
beberapa tahun yang lalu,

Seorang gadis remaja meregang nyawa,
karena putus harapannya akan dunia,

tapi gadis kecil itu tetap bermain dengan riangnya, di pohon yang sama..

Ia sendiri tidak tahu.

Selasa, 14 Agustus 2018

Sejenak ke Papandayan

Entah kenapa, setiap perjalanan punya hikmahnya sendiri.

Sekitar bulan Juli lalu, Shofi mengajak kami yang berada di grup multichat alumni SMA  MAN yang berkuliah di UI untuk mengikuti perjalanan mendaki gunung bersama teman-teman alumni lainnya. Sekejap, dengan sepenuh ke"impulsif"an, aku menghubungi Shofi untuk berkata bahwa aku ingin ikut serta, meskipun belum tau hendak ke gunung mana. Alasannya simpel, aku ingin 'kabur' sejenak dari hiruk pikuk kehidupan ibu kota. Aku pun dimasukan ke dalam multichat yang berisi teman-teman yang juga hendak mengikuti perjalanan ini. Kami pun mendiskusikan beberapa hal terkait perencanaan perjalanan, termasuk menentukan gunung mana yang hendak kami daki.

Selalu ada permasalahan yang dihadapi dalam hidup, termasuk dalam merencanakan perjalanan ini. Salah satu masalah yang kami hadapi yaitu dua orang yang biasa menaklukan gunung mengundurkan diri dari perjalanan. Sempat ada keraguan antara aku Shofi dan Caca (teman yang juga berangkat dari Jakarta) akan rencana pendakian ini, dan kemudian kami menyebarkan keraguan kami kepada teman-teman lain. Bahkan kami juga sudah memikirkan beberapa alternatif lain untuk menggantikan perjalanan mendaki gunung. Tapi Allah menakdirkan kami untuk tetap melakukan perjalanan ini. Dan kemudian.....

..dan kemudian sepertinya bukan gayaku untuk menceritakan sebuah peristiwa secara kronologis. Aku terbiasa menuliskan refleksi. Maka, sebagaimana yang aku tuliskan di awal, setiap perjalanan punya hikmahnya sendiri.

termasuk perjalanan ini, 

Perjalanan kali ini membuatku sadar jika kita menginginkan sesuatu, Allah akan membuat kita berusaha terlebih dahulu. Kita ingin sampai ke puncak Papandayan, maka Allah membuat kita berusaha untuk mencapai puncaknya. Mulai dari membuat perencanaan, menetapkan hati untuk mendaki, hingga menguatkan raga supaya bisa sampai puncak. 

Perjalanan kali ini membuatku sadar, bahwa Allah akan memberikan apa yang kita butuhkan, dan juga memudahkannya. Jika sesuai skenario awal, sebenarnya aku harus kembali ke Jakarta pada hari Ahad malam. Tapi Allah tau aku butuh berada lebih lama dalam perjalanan itu, maka Allah memudahkanku untuk memundurkan jadwal kembali ke Jakarta pada Senin malam dengan bantuan beberapa teman (berupa tethering dan pulsa).

Perjalanan kali ini membuatku sadar, bahwa sebenarnya keluarga adalah tempat dimana kita bisa merasa nyaman menjadi diri kita sendiri. Aku merasa nyaman menjadi diriku di tengah-tengah mereka. Aku tidak harus berusaha menjadi seorang yang profesional menghadapi segala beban dan tuntutan. Aku merasa dicintai tanpa syarat oleh mereka. 

Dan semoga akan ada perjalanan-perjalanan lain untuk mengambil hikmah yang lebih banyak lagi. Semoga.





Selasa, 07 Agustus 2018

My 22 year old girl

Inside me,

There is a 70 year old woman dying,
needs a rest from the world,
waiting her time

There is a 17 year old girl rebelling,
needs an unplanned journey,
going anywhere without doubt

There is a 7 year old little girl crying,
needs a toys and affection much,
hoping to be loved

But also,

There is a 22 year old girl fighting,
controlling another selves inside,

So, thanks to my 22 year old girl,
for always keeping me into my sanity.

Jumat, 06 Juli 2018

Kembali ke Gontor

21 Januari 2018

Pada akhirnya, semua yang terbaik dalam hidup akan kita syukuri apabila kita menyadarinya. 

Subuh itu, aku sampai ke gerbang pondok dengan mobil travel. Sebelum masuk, aku melihat sejenak bangunan pondok. Tidak banyak berubah, hanya terlihat sedikit lebih megah. Mungkin karena lampu yang jumlahnya tambah banyak, bentuk pagar yang baru, atau warna cat yang masih cemerlang.

Aku pun menyapa santriwati yang bertugas menjaga gerbang pondok, memberitahunya bahwa aku adalah tamu yang hendak berkunjung. Mereka mempersilakan ku untuk masuk ke ruang penerimaan tamu pondok.

Sayup-sayup terdengar suara syair Abu Nawas dari speaker pondok, tanda bahwa solat jamaah subuh akan dimulai sebentar lagi. Sambil memejamkan mata, ku ulang-ulang syair itu di kepalaku. Ternyata aku masih hapal. Tak terasa air mata mengalir, membayangkan betapa syahdunya dulu syair ini dilantunkan ketika kami para santriwati bersiap-siap pergi ke masjid untuk sholat berjamaah.

"Ilaahilastu lil firdausi ahla, wa laa aqwaa 'ala annaaril jahiimii"

Ya Tuhan, sesungguhnya aku bukanlah ahli surga, tetapi aku juga tak kuat akan api neraka.

Setelah sholat subuh berjamaah, aku berjalan-jalan sekeliling pondok sambil menunggu temanku yang sudah menjadi ustadzah keluar ke ruang penerimaan tamu untuk menemuiku. Aku pun berhenti di saung tempat santriwati penjaga gerbang. Aku sedikit berbincang dengan mereka. Mereka memanggilku ustadzah begitu tau aku berada dalam satu angkatan yang sama dengan temanku, ustadzah mereka. Padahal jika mereka tau kebenarannya, aku tidak pernah menyelesaikan pendidikanku di pondok itu. Tapi rasa senang karena dipanggil ustadzah mengurungkanku untuk memberitahukan kebenarannya pada mereka. Yang mereka tau hanyalah tentang aku yang sekarang berkuliah di jurusan psikologi salah satu kampus negeri di Ibu kota.

Beberapa lama kemudian, temanku keluar menemuiku. Rasa rindu yang membuncah akhirnya terbayar setelah kami berpelukan erat untuk yang pertama kalinya setelah beberapa tahun yang terlewat. Kami pun berbicang mengenang masa lalu sambil bertanya tentang masa depan kami masing-masing.

Satu hal yang aku sadari setelah berbincang; pada akhirnya Allah memang memberikan tempat yang terbaik bagi kami masing-masing. Mungkin aku tidak akan bisa mengenal sistem pendidikan di salah satu kampus negeri terbaik di Indonesia apabila aku masih berada di pondok. Mungkin aku akan menjadi ustadzah, seperti temanku, dan mengajarkan ilmu yang kami miliki kepada santriwati-santriwati yang ada disana.

Memang mungkin mimpiku menjadi ustadzah telah sirna, tapi aku bisa membuat mimpi-mimpi lain. Memang mungkin mimpiku untuk melanjutkan pendidikan di Mesir tidak bisa dicapai lagi, tapi aku masih punya pilihan untuk memilih negara yang akan menjadi tujuan perjalananku selanjutnya.   

Pertemuan yang singkat ini akhirnya harus disudahi karena temanku harus mengajar salah satu kelas. Aku pun berpisah dengannya, sambil menahan air mata. Aku bahkan tidak bisa menilai apakah emosi ini termasuk emosi sedih atau haru ketika aku pergi meninggalkan pondok untuk sekali lagi, dan mungkin kali ini untuk selamanya.

Kini hanya syukur yang bisa ku andalkan, bersyukur atas kehendak-Nya untuk memberiku kesempatan dalam merekonstruksi mimpiku kembali, meski seringkali aku hilang arah dan tujuan sambil berlinang air mata ketika menyusun mimpi-mimpi yang bercerai berai ketika aku meninggalkan pondok ini 8 tahun yang lalu.

Tapi siapa yang tau apa kejutan yang akan terjadi selanjutnya?

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ya Allah, ajarkan kami untuk bersyukur atas nikmat-Mu yang telah Engkau berikan pada kami dan kepada orang tua kami, dan bimbinglah kami untuk terus beramal solih yang Engkau ridhoi, dan masukanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang Engkau beri rahmat dan ke dalam golongan hamba-hambaMu yang beramal sholih.

Pergi dari Gontor

28 Desember 2009

Seberapapun kita menyukai sesuatu hal, Allah selalu tau hal yang terbaik bagi kita. 

Siang itu, sebelum pergi kembali ke kelas siang, aku bertemu adikku yang menunggu di depan kamar di pondok. Aku terkejut karena tidak menyangka akan mendapatkan kunjungan orang tua di siang hari sekolah seperti ini. Adikku menyerahkan sebuah surat kepadaku dari Ibu.

Teh, teteh pulang ya hari ini, kemasi barang-barangnya. 

Dalam kekalutan, aku mengajak adikku untuk menemui Ibu di ruang penerimaan tamu pondok. Sambil menangis, aku bertanya, "Mengapa harus sekarang?"

"Teh, memang ketika pertama kali kita berpisah dengan hal yang kita sukai itu sakit, tapi nanti Teteh akan lega karena lepas dari semua beban ini", kata Ibu, sambil menahan air matanya.

Jadilah, siang itu, aku dan Ibu pergi ke ruangan ustadzah wali kelasku untuk mengutarakan maksud kami, yaitu rencana kepindahanku dari pondok ini ke sekolah lain.

Dengan berat hati, ustadzah wali kelasku menanyakan alasannya. Ah, terlalu rumit untuk dijelaskan kepada ustadzah. Walaupun pada akhirnya, ibuku menjelaskannya ke ustadzah. Masalah keluarga, singkatnya. Karena mengurusi berkas dan administrasi untuk pindah sekolah, aku bolos kelas siang itu.

Berita mengenai kepulanganku tersebar juga kepada orang-orang sekitarku. Mereka kaget bahwa seorang Fadiya, anak yang tak pernah punya masalah, ingin keluar dari pondok. Kepada orang-orang terdekatku, aku meminta maaf karena tidak bisa bertahan lebih lama lagi ketika mereka bertanya, "Fadiya kenapa harus pulang?"

Bila ingin ku ceritakan, sungguh aku akan menceritakannya. Akan tetapi kejadian yang membuatku bersedih masih membekas dan membungkamku sampai saat kepulanganku tiba. Kejadian yang membuatku sadar bahwa luka yang ditorehkan dalam hati seseorang bisa membekas lama, dan membuat luka itu menjadi duri dendam yang akan melukai orang lain pada masanya. Luka yang membuat seseorang bisa menyebarkan fitnah yang bisa menjatuhkan orang lain.

Malam itu, setelah selesai mengurusi administrasi, teman-teman menahan koperku, beberapa dari mereka menangis. Aku pun menangis, meski tangisanku dalam hati. Ah, betapa aku ingin beritahukan pada mereka bahwa aku masih ingin belajar bersama di pondok ini bersama mereka, mencapai impian kita bersama sampai menjadi lulusan yang memiliki ilmu agama yang dalam.

Setelah berpamitan dalam waktu yang lama sambil meyakinkan pada teman-teman bahwa aku akan kembali, aku memasuki mobil, bersiap untuk pergi meninggalkan tempat dimana aku memupuk mimpiku.

Mobil mulai melaju, meninggalkan gerbang pondok tercinta. Aku membuka kaca mobil, membiarkan angin malam menyapa wajahku, membiarkanku untuk menikmati angin malam pondok, mungkin untuk yang terakhir kali. Aku pun melihat bangunan pondok yang semakin lama semakin tidak terlihat dari jangkauan mata.

Selamat tinggal, aku akan kembali menyapamu lagi. 

Pergi ke Gontor

4 Juli 2007

Ini pertama kalinya aku berniat untuk pergi dari rumah dalam jangka waktu yang lama. Ya, aku memantapkan diriku untuk menuntut ilmu di Ngawi, Jawa Timur, di salah satu pondok yang terkenal karena kedalaman ilmu agama serta bahasa arabnya.

Sebelum pergi, beberapa kali orang tuaku bertanya, memastikan kembali apakah aku memang sudah siap untuk pergi dan menuntut ilmu di tempat yang jauh dari rumah, dan aku balas kembali pertanyaan mereka dengan jawaban yang mantap, "Ya, aku siap"

Sebelum berangkat, ibuku memintaku untuk meminta restu kepada keluarga besar. Kepada nenek dan juga paman bibi lewat percakapan telepon, "Aku mau pergi ke pondok, mohon doanya".

Sesampainya di pondok, aku melihat sekitar, memperhatikan orang-orang yang juga berniat untuk menuntut ilmu di tempat ini. Beberapa diantaranya sudah ada yang berpamitan dengan orang tua dengan penuh haru. Tak lupa peluk dan cium dari orang tua kepada anaknya, beserta untaian doa pada Allah memohon agar anaknya diberikan kekuatan untuk bersekolah di pondok ini.

Aku kemudian melihat kepada ibu bapakku. Melihat wajah mereka sekali lagi, wajah yang memiliki ekspresi yang sama dengan wajah orang tua lainnya, ekspresi sedih sekaligus haru untuk melepas anak mereka bersekolah jauh dari rumah.

Setelah menyelesaikan pendaftaran, aku pun berpamitan dengan ibu bapakku. Menyalimi tangan mereka dan meminta restu terakhir sebelum aku benar-benar menjalani kegiatan sebagai santriwati di sekolah baruku ini.

Mesin mobil mulai menyala. Kaca pintu mobil dibuka sebelum bannya berputar. Lambaian tangan dari ibu bapak serta senyum mereka ku balas juga dengan lambaian dan senyum dariku, memberitahu mereka bahwa aku akan baik-baik saja selama bersekolah disini.

Mobil pun melaju, lambat laun ke arah gerbang pondok menjauhiku. Air mata ku menetes satu per satu, dibalut kesedihan karena berpisah dan juga antusiasme menjalani kehidupan baru sebagai santriwati. 

Jangan khawatir, Bu, Pak. I will be okay. 

Sabtu, 12 Mei 2018

Menilai emosi

Terkadang, kita menilai emosi yang kita miliki,
"happy is good, sad is bad"

Pada kenyataannya, tidak semua kebahagiaan itu baik, dan tidak semua kesedihan itu buruk. 

Pada kenyataan yang sebenar-benarnya, emosi hanyalah emosi. Semua emosi hanyalah warna yang hadir pada diri kita dan membuat kita menjadi manusia yang berwarna. 

Jika kita harus menangis karena merasa sedih, mengapa tidak menangis saja? Menangislah!

Jika kita harus tertawa karena merasa bahagia, mengapa tidak tertawa saja? Tertawalah!

Dan jika kita harus menangis sambil tertawa karena dua emosi itu bercampur dalam diri kita, mengapa harus kita tahan?

Manusiakanlah diri kita, peluklah emosi dalam diri kita dan lepaskanlah. 

Maka, hidup kita akan berwarna sebagai manusia seutuhnya. 


"Sometimes we labelling our emotion, happy is good, and sad is bad.
Instead of labelling our emotion, why we can't just accept them?
Let the laughs burst, let ourselves crying our heart out, and live our life mindfully and gracefully."

Here, a picture for you. Hope you'll find peace after seeing this little light :)


Minggu, 08 April 2018

Dilema

Hidup itu dilema ya,

Ingin bebas, tapi ingin juga kehidupan yang aman.
Ingin pergi ke tempat manapun yang diinginkan, tapi ada yang tidak mengijinkan.
Ingin kabur, tapi amanah harus dipertanggungjawabkan.

Ketika kaki kanan ingin melangkah, tetapi kaki kiri terikat kuat dengan banyak pertalian dunia.

Bukankah manusia sudah terpenjara sejak lahir? Lalu apakah kebebasan yang sebenarnya kita miliki?

Apakah kita benar-benar bisa hidup dengan bebas?
Bebas melangkah kemanapun yang kita inginkan,
Bebas menjadi apapun yang kita inginkan,
Bebas tanpa harus memikirkan apapun...

Lalu ku ulangi kata-kata bebas itu lagi, hingga ku merasa, mungkin sejak lahir manusia memang tidak pernah memiliki kebebasan.

Manusia benar-benar terpenjara sejak ia lahir. Apapun keputusan yang dipilihnya, menuntunnya pada konsekuensi dari pilihannya. Dalam artian, manusia hanya bebas untuk memilih pilihan yang dihadapkan padanya, bukan bebas pada konsekuensi yang terjadi karena pilihannya.

Persetan dengan kebebasan semu.
Asal pikiranku tidak terkungkung, biarkan aku melanglang buana.

Karena aku lelah merasa terpenjara, aku ingin hidup tanpa dilema.

Jika tidak melanggar norma, mungkin itu berarti; tidak hidup.
 

Senin, 05 Februari 2018

Pohon dan Hujan

Pohon selalu menatap langit,
rupanya ia menantikan sesuatu yang disukainya; Hujan
Ia pun kerap kali bertanya
apakah kali ini hujan akan turun menyapanya?

Karena setiap kali hujan turun,
pohon merasa dirinya terbasahi oleh kebahagiaan
meskipun rintik hujan terasa dingin mengenai dahannya,
di hatinya, rintik itu terasa hangat

Pohon sadar bahwa dirinya dan hujan merupakan hal yang berbeda
Pohon berasal dari tanah, dan hujan berasal dari langit,
mereka tidak bisa bersama

Maka dari itu, pohon berjanji pada dirinya untuk tidak berharap lebih,
untuk menerima, dan membiarkan hujan tetap pada takdirnya sebagai hujan
dan pohon, tetap pada takdirnya untuk terus mengakar pada tempatnya,
sedangkan kepada hujan, pohon tetap menantinya.