Sabtu, 21 Januari 2017

Mr Slasherhand

Membosankan, kelas tambahan Mr Jack sore itu sama seperti hari-hari biasa. Mr Jack di depan membahas soal-soal yang tipenya sama seperti hari-hari sebelumnya. Ujian akhir dan ujian masuk universitas akan datang sebentar lagi, maka dari itu mungkin kejenuhan belajar sudah berada di ubun-ubun setiap murid karena setiap hari harus menghadapi soal yang sama jenisnya. Di barisan bangku belakang, teman-teman mulai berbisik-bisik membahas hal yang tidak berkaitan dengan pelajaran. Beberapa terlihat melamun. Tetap saja beberapa murid tetap memperhatikan Mr Jack, termasuk aku.

Mr Jack adalah seorang guru muda yang baru beberapa minggu berada di sekolah, menggantikan guru kami yang cuti melahirkan. Tak bisa dipungkiri, wajahnya cukup tampan dan badannya cuk up tegap. Jika kamu bertemu dia di pusat perbelanjaan, mungkin kamu tidak akan menyangka bahwa ia adalah seorang guru. Caranya berpakaian sangat rapi, terlihat dari rambut yang selalu tersisir rapi, kemeja yang selalu terlihat sehabis disetrika, dan sepatu yang selalu hitam seperti habis disemir. Mr Jack juga selalu wangi, selalu tercium wangi peppermint disamping wangi parfumnya yang khas.

Tak hanya penampilannya, dari caranya berbicara juga menunjukan bahwa ia memiliki kharisma yang khas. Nada bicaranya tenang, tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah. Ia juga memiliki selera humor yang baik. Terkadang, ketika moodnya sedang baik, ia bisa mengeluarkan berbagai macam lelucon yang membuat seisi kelas tertawa.

Ia juga baik hati, kepada siapapun, termasuk aku. Sejak pertama kali masuk kelas, aku mungkin sudah menyukai Mr Jack. Terlebih ketika ia menyebut namaku dan menanyakan apa novel yang kusukai. “The Phantom of the Opera”, jawabku. Ia pun  tersenyum dan berkata, aku juga suka novel itu. Sejak saat itu, aku suka berbicara dengan Mr Jack. Sesekali datang ke ruangannya, yang dulunya adalah ruangan guru kami yang sedang mengambil cuti, untuk berbincang-bincang mengenai novel. Aku juga beberapa kali meminjam novelnya. 

Apakah aku berharap lebih? Tidak. Aku hanya menganggapnya sebagai guru yang menyenangkan. Begitu pula mungkin Mr Jack hanya menganggapku sebagai murid yang menyenangkan untuk diajak bicara. Lagipula, aku sudah memiliki seorang yang kuperhatikan di kelas, ketua tim basket sekolah. Walaupun mungkin perasaan ini hanya bertepuk sebelah tangan karena si ketua tim basket sekolah juga digosipkan dekat dengan temanku seorang ketua tim debat sekaligus ketua organisasi siswa di sekolah. Tapi bagiku tidak apa, toh, aku menikmati rasa suka ini.

Kelas sore itu diakhiri oleh pertanyaan Mr Jack. “Menurut kalian, siapa hipokrit yang paling jujur”

Seisi kelas terheran-heran. Semua berbisik. Beberapa mengerutkan kening seakan sedang memikirkan jawabannya. Kemudian, Mr Jack membuka website berita yang ditayangkan pada proyektor depan kelas. Berita tentang The Slasherhand.

Seorang murid bertanya, “ Mengapa kau bisa berpendapat seperti itu?”

Mr Jack menaikan alisnya. Kemudian ia tersenyum, “ Well, karena tidak seperti kebanyakan orang. Ia tidak menyembunyikan sisi jahatnya. Pun ketika Ia tertangkap suatu hari nanti, mungkin Ia tidak akan mengelak dan mengakui kejahatannya”

The Slasherhand, julukan bagi penjahat kriminal yang akhir-akhir ini menewaskan beberapa orang dengan cara yang tidak pantas, yaitu dengan menyayat leher korban secara horizontal. Tidak ditemukan adanya bekas penganiayaan dan perkosaan pada tubuh korban. Anehnya juga, tidak ditemukan bukti-bukti yang membawa penyidik kepada sosok asli The Slasherhand. Korban juga tidak ditemukan memiliki hubungan satu sama lain, seakan The Slasherhand memilih korbannya secara acak. Sejauh ini, sudah ada sekitar 12 korban yang semuanya berjenis kelamin perempuan dengan usia sekitar 17-23 tahun. Diperkirakan kematian korban pada waktu sore menjelang malam, dan ditemukan keesokan paginya.

Bel pun berbunyi. Murid-murid merapikan tasnya dan keluar satu persatu. Mr Jack duduk sejenak di kursinya dan terlihat menuliskan beberapa hal. Sambil membawa tasku, aku menghampiri Mr Jack.

“Mr Jack, aku ingin mengembalikan novel yang aku pinjam tempo hari”

Mr Jack menoleh, “Ya, tentu. Kamu mau menaruhnya di ruangan saya?”

“Baiklah”, kataku sambil mengangguk. Aku kemudian keluar kelas menuju ruangan Mr Jack.

Sekolah sudah sepi di sore hari. Hanya ada beberapa orang yang sedang berlatih basket di lapangan basket indoor. Sisanya hanya koridor kosong. Waktu sudah menunjukan bahwa sebentar lagi akan datang malam hari.

Aku memasuki ruangan Mr Jack. Ruangan ini disusun kembali oleh Mr Jack sehingga terlihat sangat rapi. Saking rapi dan bersihnya, seakan terlihat tidak ada debu setitikpun. Novel-novel milik Mr Jack tersusun rapi berdasarkan abjad penulis dan tahun terbit novel. Di samping meja Mr Jack, ada sebuah lemari kecil. Setiap memasuki ruangan Mr Jack, aku selalu penasaran dengan isi lemari itu karena sebelum Mr Jack datang, lemari itu tidak pernah ada.

Setelah aku menaruh novel di rak buku, aku tergoda untuk mengintip isi lemari itu. Aku menarik gagang lemari, ternyata tidak terkunci. Bau klorit bercampur dengan peppermint menguai ke udara. Ada map abu-abu serta tas ransel berwarna hitam di dalamnya. Ketika aku tergoda untuk membuka kedua hal itu, hati kecilku berkata ini bukan hal yang baik untuk dilakukan.

Tiba-tiba lampu ruangan mati. Aku terkejut. Detak jantungku meningkat dan napasku terengah-engah. Aku mulai mencari saklar lampu di samping pintu. Aku menekan saklar tersebut. Sial, tidak menyala. Aku mencoba menekan tombol saklar berkali-kali, tetap tidak menyala. Hingga kuputuskan untuk keluar dari ruangan, ternyata di depan ruangan sudah ada seseorang yang menungguku, Mr Jack!

Dengan senyumnya, Mr Jack menatapku. Senyumannya kali ini berbeda, seperti senyuman macan yang sudah menemukan mangsanya. Detak jantungku semakin cepat. Aku pun berlari meninggalkan koridor dan sekolah.

Hingga sampai pada ujung blok sekolah. Sekolahku berada di ujung kota sehingga kendaraan yang berlalu lalang tidak banyak. Gedungpun banyak yang ditinggalkan karena berbisnis di daerah itu tidak mendatangkan banyak keuntungan.

Oh, tidak. Aku lupa kalau bis sudah tidak melewati jalan di ujung blok sekolah pada waktu seperti ini, sehingga aku harus berjalan beberapa blok lagi hingga menemukan jalan raya. Tapi aku sudah tidak kuat berlari lagi.

Dengan napas terengah-engah, aku berhenti sejenak. Semburat merah sudah menanti di ujung horizon hendak memadamkan cahayanya. Angin malam mulai mengudara. Dari arah belakang, aku menghirup wangi yang tak asing lagi, wangi peppermint. Aku menoleh ke belakang. Ada sesosok bayangan tegap yang membawa sebilah pisau besar berjalan ke arahku. Aku membelalakan mata. 

Dengan mengumpulkan sisa- sisa kekuatan, aku berlari terus menyusuri beberapa blok.
Karena panik, aku tersadar bahwa aku berada pada sebuah jalan buntu. Tidak ada lagi tempat berlari maupun sembunyi. Wangi peppermint terus membuntuti, semakin dekat. Dengan segala kepanikan dan kebingungan, air mataku mulai menetes. Dari ujung jalan, mulai jelas terlihat sosok bayangan yang mengejarku, dengan senyumnya yang menawan dan mengerikan.


Mungkin akulah korban selanjutnya.      

Catatan :  

Cerita ini terinspirasi dari mimpi buruk yang aku alami, dengan beberapa perubahan. Tapi yang bagian dikejar-kejar itu benar adanya. Saking nyatanya, saat terbangun aku masih merasakan detak jantung yang meningkat. 

Kalau mau dihubungkan dengan teori dari Sigmund Freud, mungkin aku memiliki kecemasan akan suatu hal yang aku tekan (repression) sampai masuk ke alam bawah sadarku, kemudian kecemasan itu muncul dalam bentuk mimpi yang mengejar-ngejarku.

Alhamdulillah lah ya, dari mimpi bisa produktif menghasilkan cerita. Lain kali mungkin kalau mimpi, aku bikin cerita lagi.  

Tapi semoga mimpi selanjutnya adalah mimpi yang indah. 

Rabu, 18 Januari 2017

Sedikit Cerita tentang Jogja-Serpong-Cilimus

Post ini diawali dengan cerita Roadshow IAIC pada 14 Januari kemarin. Roadshow kali ini, seperti biasa, aku berangkat bersama teman-teman dari Jogja. Kami berangkat dari stasiun Lempuyangan pada pukul 15.30, dan sampai di stasiun Jatinegara lebih dari jam 12 malam. Karena satu dan lain hal, akhirnya kita memutuskan untuk memesan mobil untuk mengantar kami ke Serpong lewat aplikasi online (Thanks to technology!). Akhirnya kami sampai di Serpong sekitar pukul 2 pagi (dan tidak bisa tidur, hahaha).

Roadshow kali ini berbeda dengan tahun lalu. Pada tahun lalu, angkatan kami, Magnivic, yang menjadi kepala pelaksana roadshow 2015, sehingga terasa sekali sibuknya. Sedangkan Roadshow kali ini, angkatan kami menjadi angkatan penghibur dan pendukung adik-adik yang menjadi pelaksana Roadshow. Gabut, tapi tetap menyenangkan, karena untuk kesekian kalinya kami berkumpul bersama. Ah, guys, entah kenapa kerinduan untuk bertemu kalian tidak ada habis-habisnya :'''

Pada keesokan harinya, 15 Januari, aku dengan beberapa teman (Nilna, Mila, Alifa) pergi berjalan-jalan ke TMII (Taman Mini Indonesia Indah). Terakhir aku kesana sekitar 2 tahun lalu, pada semester 2 di kuliah, dan tidak banyak yang berubah dari TMII (sepertinya). Disana kami menghabiskan waktu bersama, menaiki kereta gantung, mengunjungi museum keprajuritan, dan naik mobil wisata (yang ternyata bayar!). Sorenya, kami menonton pertunjukan Reog Ponorogo. Meskipun capek pada saat perjalanan pulang, kami merasa senang.

Lalu, esoknya, tanggal 16 Januari, aku pergi ke rumah Nenek di Cilimus, Kuningan. Karena tidak bisa dijemput, aku pergi ke Cilimus sendiri dari stasiun Cirebon. Sempat diPHPin juga sih, bilangnya bisa dijemput, eh ternyata nggak bisa dijemput akhirnya (sad.. :'''). Sedih awalnya, tapi dalam perjalanan, aku merasa senang karena itu pertama kalinya aku pergi ke Cilimus dari stasiun Cirebon untuk pertama kali, yeaaayyy :)

Sampai di rumah nenek, aku disambut oleh Ibu yang sudah lebih dulu sampai disana dari Semarang. Kemudian salim dengan nenek. Malamnya, aku makan hal yang baru pertama kali aku makan; Jengkol. Setelah makan jengkol, aku berkesimpulan ; ternyata jengkol itu enak! Tidak seperti yang dikatakan orang-orang, jengkol itu bau lah, ini lah. Apa salahmu, jengkol?  

Sampai saat ini, aku bersyukur atas banyak hal, termasuk ketidaklolosanku dalam GUIM (belum move on ya, fad?). Jika aku lolos GUIM pada saat itu, mungkin aku akan mendapatkan keluarga baru, tapi aku tidak bisa bersama dengan keluarga-keluarga yang selama ini sudah aku kenal, yang menyayangiku, dan menerimaku apa adanya. Aku tidak bisa menuntaskan rindu dengan mereka.

Pada akhirnya semua hal yang terjadi pada kita adalah yang terbaik ketika kita bisa mengambil hikmahnya, bukan?
Bersama teman-teman Magnivic di Roadshow 2016 (sebagai tim hore)

Di depan gapura Museum Indonesia, TMII