Rabu, 21 Desember 2016

Refleksi Akhir Tahun 2016

Pos kali ini diawali dengan cerita lucu tentang kesalahan persepsi tanggal pulangku karena kelelahan selama UAS.

Jadi, pada awal November, aku sudah memesan tiket kepulangan dari Depok ke Semarang tanggal 22 Desember 2016. Akan tetapi, karena kelelahan yang ku alami, aku mulai mengalami delusi (?) bahwa aku pulang tanggal 20 Desember, sehari setelah UAS selesai. Delusi itu kusebarkan ke teman-teman dan orang-orang sekitar, jadi yang mereka tau adalah aku pulang tanggal 20 Desember jam 2 siang.

Ketika tanggal 20 Desember, bertepatan dengan acara bersih-bersih ruang BEM dan Student Center di pagi hari, aku pamitan ke teman-teman di BEM. Mereka pun bilang "hati-hati fad, salam buat keluarga". Dengan semangat menggebu, aku menyiapkan barang-barangku untuk pulang untuk siang hari.

Beberapa saat sebelum selesai packing, aku ingin memastikan kembali tiket yang aku punya. Kemudian aku membuka email konfirmasi pembayaran dari PT KAI, dan ternyataaa.. aku pulang tanggal 22 Desember. Seperti orang yang habis mabuk (nggak pernah ngerasain juga sih), aku kebingungan. Seketika itu orientasiku akan waktu berantakan (lebay). Lalu aku sadar bahwa awal November memang aku pesan tiket tanggal 22 Desember dengan asumsi aku bisa menikmati liburan beberapa hari terlebih dahulu di Depok. HAHA, makan tuh tiket faaad.... :""

Okay, mulai refleksinya..

Menurutku, tahun ini merupakan tahun dimana aku merasakan banyak kegagalan.

Aku gagal mencapai beberapa target kinerja di BEM, aku gagal memenangkan lomba cerdas cermat di Unpad, aku gagal menjadi pengajar GUIM (Gerakan UI Mengajar), dan kegagalan- kegagalan lainnya.

Mengetahui bahwa dirinya gagal, siapa yang tidak sedih?

Kesedihan itu beberapa kali membuatku merasa bahwa aku tidak memiliki kompetensi yang seharusnya. Aku merasa bodoh karena tidak menang lomba, merasa tidak begitu cukup berkompeten untuk menjadi pengajar GUIM, dan perasaan- perasaan lain yang semakin membuat diriku merasa tidak begitu berharga.

Ketika aku bercerita dengan beberapa temanku tentang kegagalan ini, mereka memiliki pendapat yang berbeda. Salah satu teman bilang bahwa kegagalan yang kita alami bukanlah karena kita tidak berkompeten, ada banyak faktor yang berpengaruh. Contohnya ketika aku tidak diterima sebagai pengajar, temanku berkata ada berbagai hal yang panitia dan tim penilai pertimbangkan. Salah satu teman juga berkata, mungkin aku ragu dengan diriku sendiri. Keraguan ini membuat diriku tertahan untuk terus maju ke depan.

Mungkin ada hal yang bisa aku syukuri dibalik kegagalan-kegagalan itu ; aku mencoba hal baru. Aku berani untuk keluar dan menantang diriku sendiri dengan hal-hal yang belum pernah aku lakukan sebelumnya.

Dari kegagalan, kita bisa belajar bahwa segala hal yang kita inginkan tidak bisa kita dapatkan secara instan. Ada perjuangan yang harus dilalui untuk mencapai hal tersebut. Kegagalan mengajarkan kita untuk memilih apakah kita akan terus bertahan untuk tetap berjuang, atau berhenti berjuang dan pada akhirnya tidak mendapatkan apa-apa.

Dan mungkin aku memilih untuk tidak berhenti berjuang.

Semoga 2017 menjadi momen bagi diri kita untuk berubah ke arah yang lebih baik dari sebelumnya.


Bersama teman-teman paguyuban Lawang Sewu dalam roadshow ke SMA di Semarang 


Bersama keluarga baru, Pengmas 2016 :)
Bersama dengan Sospolita 2015 di Anyer

Bersama teman-teman yang sama-sama tersesat di PAUD, Shirokuman :)

Bersama dengan teman-teman BEM pada saat kunjungan ke LM Psikologi UGM :)
Bersama dengan teman-teman psikologi mendukung anak-anak COH pada saat Pagelaran Bocah :)
Bersama dengan teman-teman di Buletin Payung 2016


Bersama dengan teman-teman BEM meramaikan kegiatan Psyware #MentalHealthDay
Bersama dengan kontingen psikologi untuk Olimpiade UI cabang Tekwondo #BanggaJadiManajer 

Bersama dengan teman-teman Sospol di Kebun Raya Bogor

Kumpul terakhir bersama dengan teman-teman yang selama ini mendukung dalam suka-duka di BEM Psikologi 2016.
Thanks for the moment :)




Minggu, 20 November 2016

Hai Dirimu! (Aku juga penulis fiktif)

Hai dirimu!

Apakah kau masih disana dengan segala kelebihan dan kekuranganmu?

Sulit sekali bagi diri ini untuk tidak menyapamu ketika rindu sedemikian hebatnya mengganggu. Tenang, ku sudah terbiasa. Bagiku ini seperti santapan sehari-hari.

Apakah kamu merasa bahwa "kamu" yang ku tulis adalah dirimu. Oh, kamu merasa?

Maaf, mungkin dirimu yang aku maksud bukanlah dirimu, setidaknya bukan dirimu dalam dunia nyata. Kau tahu, kan, ku juga penulis fiktif yang senang berimajinasi.

Pernah ku berimajinasi mengakhiri cerita kita dengan akhir yang bahagia. Ketika kamu dan aku, kita hidup bersama dengan anak-anak kita, melihat mereka tumbuh besar dan bahagia.

Pernah ku berimajinasi mengakhiri cerita kita dengan akhir yang memilukan hati. Ceritanya memiliki plot yang beraneka ragam. Bisa karena aku meninggalkan dunia terlebih dahulu, kamu meninggalkan dunia terlebih dahulu, hubungan yang tidak direstui orang tua, atau bahkan kamu sama sekali tidak pernah menghubungiku lagi sehingga hatiku berpaling pada laki-laki lain.

Mungkin yang terakhir yang lebih mirip dengan kisah nyata yang kita alami.

Toh, ini hanya fiktif, hanya imajinasi. Kenyataannya bisa berbagai macam kemungkinan yang terjadi.

Itu semua bergantung padamu. Karena aku masih disini, menunggu.
Sambil menulis kisah-kisah fiktif tentang kita yang memiliki banyak kemungkinan jalan cerita.

Senin, 14 November 2016

Hai Dirimu! (dan Semoga yang Terakhir)

Hai, dirimu!

Maaf ya hanya bisa mengungkapkan ini lewat tulisan di sosial media. Tahukah kamu aku sudah lama berusaha bilang padamu, tapi untung saja kesadaran pikiran ini masih berjalan dengan baik sehingga aku mengurungkan niatku untuk berbicara padamu. Mungkin akan lebih baik jika kita terus berjalan seperti ini,tanpa ada yang berubah.

Tahukah kamu, semalam aku bermimpi kamu (lagi). Sama dengan mimpi sebelumnya, kamu tersenyum. Akan tetapi senyummu kali ini berbeda. Di mimpi kali ini, aku meninggal, jasadku tergeletak, semua orang menangis dan bersedih, tapi kamu tersenyum. Mengapa demikian? Apakah kamu ingin aku pergi? Atau aku yang ingin diriku tau bahwa aku harus pergi?

Tahukah kamu, dalam beberapa waktu ini, aku berusaha untuk membiarkan rasa ini. Aku sudah menyerah dan pasrah akan berakhir seperti apa cerita kita (jika mungkin kita pernah punya cerita). Aku bahkan sudah mengikhlaskan bila pada akhirnya nanti kita tidak bersama. Tapi tetap saja kamu selalu ada, bahkan hanya sekedar muncul di media sosial. Mengapa demikian? Apakah aku masih menyimpan rasa?

Hai, dirimu..

Mungkin aku belum bisa mengucapkan selamat tinggal padamu, walaupun mungkin kamu tidak pernah mengucapkan "Hai" kepadaku.

Semoga ini adalah "Hai" yang terakhir. Karena aku lelah memikirkan seseorang yang mungkin tidak pernah memikirkanku. Aku ingin merasa hidup dan bebas dari rasa cemas karena memikirkan hal yang tidak pasti.

Dan mungkin bila kamu membaca ini, kamu akan merasakan hal yang sama. Jika benar bahwa orang yang kumaksud kamu adalah "kamu".

Opini Mengenai Arti Sebuah Pengabdian


Kehidupan tak lain adalah sebuah pengabdian. Pengabdian pada janjinya, pada keluarga, pada kerabat, pada kebenaran yang dipegangnya, pada kehidupan, dan pada Sang Pencipta”
(Pitoyo Amrih, Perjalanan Sunyi Bisma Dewabrata)

Tulisan ini berawal dari sebuah tragedi (agak lebay) hidupku dimana aku gagal mendapatkan suatu hal yang kuinginkan dari awal aku masuk ke Universitas Indonesia ; menjadi pengajar di salah satu gerakan mengajar di UI

Sedih rasanya, mengingat perjuangan yang kulakukan untuk sampai ke tahap terakhir sebelum akhirnya resmi menjadi pengajar. Apalagi mengingat hal ini merupakan impianku sebagai seorang yang sangat berminat dalam dunia pengabdian. Dalam tulisan ini aku tidak akna membahas kenapa aku tidak diterima menjadi pengajar (yah, walaupun sebenarnya aku sangat penasaran setengah mati). Tapi aku akan menulis sebuah hasil refleksi diri setelah berusaha menerima kegagalan .

Sore itu, setelah mendapatkan informasi bahwa aku tidak lolos, jujur aku kecewa sekali. Iya, aku mengevaluasi diriku mengapa aku tidak lolos. Jika dipikir dari sudut pandangku, aku memiliki cukup pengalaman dalam mengajar dan organisasi, dan juga memiliki motivasi tinggi dalam mengikuti kegiatan tersebut. Mungkin sudut pandang mereka berbeda, sehingga aku tidak layak untuk diloloskan.

Walaupun hati masih merasa sedih, otak mengajak untuk berpikir, "Mau kemana aku setelah ini? Apakah kegagalan ini menjadi suatu akhir bagi pengabdianmu?"

Dan aku jawab, tidak!

Jika memang kita tulus mengabdi, kegagalan seperti ini tidak menyurutkan niat kita untuk mengabdi. Apakah arti dari sebuah pengabdian hanya dinilai kita ketika lolos menjadi pengajar? Tentu tidak! Masih banyak jalan jika memang kita tulus dalam pengabdian. Karena menurutku, ketulusan pengabdian diuji bukan ketika kita merasa senang, akan tetapi ketika kita merasa sedih.

Dan aku sedang merasa sedih, mungkin ini saatnya ketulusanku dalam pengabdian diuji.

Karena pengabdian adalah hidup, dan hidup adalah pengabdian

Kamis, 20 Oktober 2016

Pengalaman Liburan yang Sangat Berharga di Al Mumtaaz

Pada liburan semester 4 ke semester 5 yang lalu, Agustus 2016, aku berkesempatan untuk menjadi guru pendamping di unit stimulus Al Mumtaaz selama sebulan kurang lebih. Sekolah yang berada di Karawang ini adalah sekolah Inklusif yang berfokus pada pembangunan karakter. Jenjang pendidikan yang ada di sekolah tersebut mulai dari preschool hingga MI (setara dengan sekolah dasar). Disana aku ditempatkan di kelas transisi. Kelas transisi adalah kelas yang berisi anak-anak berkebutuhan khusus yang belum siap ditempatkan di kelas reguler, yaitu kelas yang berisi gabungan anak tanpa kebutuhan khusus dan anak dengan kebutuhan khusus. Untuk mengetahui lebih lengkap tentang sekolah Al Mumtaaz, bisa dilihat di website http://www.almumtaaz.sch.id/

Masuk ke cerita, hari pertama menjadi guru pendamping sungguh berkesan karena hari itu adalah pertama kalinya aku beriteraksi langsung dengan anak-anak berkebutuhan khusus dalam setting kelas. Hal ini sungguh berbeda dengan apa yang aku dapatkan di kelas kuliah sehari-harinya karena kemampuan yang dibutuhkan untuk menjadi guru pendamping adalah kemampuan praktik interaksi langsung dengan anak-anak. Untungnya ada Bu Ade dan Bu Euis yang mengarahkan waktu itu (Terimakasih banyak kepada Bu Ade dan Bu Euis atas kesempatan dan bimbingan yang telah diberikan). Kolaborasi antara teori yang kudapat dari kelas dan praktik langsung di sekolah Al Mumtaaz membuatku lebih memahami bagaimana cara berinteraksi dengan anak-anak, terutama anak-anak dengan kebutuhan khusus.

Beberapa hari di awal menjadi guru pendamping sempat membuatku kelelahan. Bagaimana tidak, dalam sehari aku bisa berlari kesana kemari mengejar anak-anak yang berhasil keluar kelas di tengah jam sekolah, memanggil anak yang yang mengganggu temannya dengan suara lantang agar mendapat perhatian anak tersebut, hingga melerai anak yang bertengkar karena berebut mainan. Ada beberapa anak yang dibutuhkan kesabaran khusus untuk membimbingnya, karena anak-anak tersebut belum bisa merespon apa yang kita katakan. Ada juga beberapa anak tuna rungu yang harus kita dekati dan kita sentuh pundaknya untuk bisa mendapatkan perhatian mereka. Berbagai karakteristik anak yang berbeda menantangku untuk memberikan perlakuan yang berbeda kepada masing-masing anak sesuai kebutuhan mereka. Hal ini menantangku untuk belajar lebih untuk memahami mereka, bahkan membawa buku kuliah dari Depok untuk kubaca sewaktu-waktu.   

Bicara tentang perasaan, ada bermacam-macam perasaan yang hadir saat menjadi guru pendamping. Bagaimana tidak, wajah-wajah mereka bisa menghadirkan stimulus yang berbeda setiap harinya bagiku. Terkadang ketika mereka sedang bertingkah manis, mereka menyambutku dengan senyum, sembari memelukku dengan tangan kecil mereka. Akan tetapi, tak jarang tingkah mereka yang membuat kelas kacau pada hari itu membuat kami para guru kelelahan dan geleng-geleng kepala.

Bagaimanapun juga mereka telah mengajariku banyak hal yang mungkin tidak aku dapatkan apabila tidak bertemu dengan mereka.

Mereka mengajarkanku, dan kami para guru untuk bersabar dan bersyukur dalam menghadapi hidup.

Mereka mengajarkanku, dan kami para guru untuk tetap tersenyum, karena selelah apapun hari itu berakhir, mereka akan datang besok pagi dengan senyum manis mereka pada saat masuk ke kelas.

Dan mereka mengajarkanku, dan kami para guru untuk mencintai mereka apa adanya, karena dari mata mereka kami tau bagaimana ketulusan cinta yang sesungguhnya.

Semoga suatu saat nanti kita berkesempatan untuk berjumpa kembali, dan pada saat itu kuharap aku mendengar cerita hebat dari kalian, teman-teman kecilku. Terimakasih atas pelajaran yang telah kalian berikan.   


Rabu, 01 Juni 2016

TOTALITAS

Selamat menempuh UAS bagi yang menempuhnya. Semoga hasil tidak mengkhianati usaha.

By the way, kemarin Senin setelah UAS mata kuliah yang mendekatkanku pada Bapak Allport dan Bapak Fromm, teman depan kamarku mengajakku untuk menonton X-Men : Apocalypse. Karena ingin refreshing sejenak sebelum melanjutkan belajar untuk UAS berikutnya, akhirnya aku mengikuti temanku nonton. Setelah menontonnya, hanya satu kata buat film itu : AMAZING!

Sebagai orang yang selalu membayangkan bagaimana proses syuting suatu film, film ini sangat-sangat bagus untuk diberi 4 jempol, baik dari segi alur cerita, kostum maupun special effectnya. Terlepas dari alur cerita, film ini dapat menyajikan imajinasi tentang manusia mutant kepada penonton yang direalisasikan lewat kecanggihan teknologi. Dari hal kecil misalnya, adegan terbang-terbangan di film tersebut seperti pesawat dan personil X-man terlihat begitu nyata. Beda sama teknologi di salah satu TV swasta punya (itupun kalau pantas untuk dibandingkan, sorry if it's too sad to say :''')

Sekarang kita beralih ke aktris dan aktor yang mengambil peran di film terssebut. Semua orang disitu bermain dengan sangat baik, mulai dari Charles Xavier yang diperankan oleh James McAvoy, Raven yang diperankan oleh Jennifer Lawrence, hingga aktor-aktor figuran yang cuma tampil sedetik-dua detik. Dan itu membuatku ternganga untuk kesekian kalinya karena kedalaman mereka dalam menghayati tokoh yang mereka bawakan sehingga tokoh tersebut seakan ada di dunia nyata.

Sebuah kerja keras akan menjadi harmoni yang sempurna apabila pemainnya memainkan peran masing-masing dengan sepenuh hati, apapun perannya. Semua berjuang secara totalitas dan sama-sama berjuang untuk menghasilkan film yang baik. Dan yah, sebenarnya totalitas menjadi sebuah keharusan dalam setiap hal yang kita kerjakan, bukan?

totalitas/to·ta·li·tas/ n keutuhan; keseluruhan; kesemestaan: masyarakat dan kebudayaan dilukiskan sebagai satu -- (KBBI online, 2016) 

Keutuhan. Keseluruhan. Kesemestaan.

Karena suatu hal apabila dilakukan secara totalitas, maka akan menjadi hal yang bermakna. Walaupun tidak untuk orang lain, setidaknya untuk diri kita sendiri.

Semoga kita mengerjakan segala sesuatu dengan totalitas, ya!

Nb. BTW, I really really like James McAvoy. He's a good actor, and I still adore his work in Atonement and X-Men. Sayang banget dia jadi gundul di film X-Men: Apocalypse. Tapi orang ganteng mah diapain aja tetep ganteng ya, hehehe.

Minggu, 17 April 2016

Tentang Katniss dan Peeta

That what I need to survive is not Gale's fire, kindled with rage and hatred. I have plenty of fire myself. What I need is the dandelion in the spring. The bright yellow that means rebirth instead of destruction. The promise that life can go on, no matter how bad our losses. That it can be good again. And only Peeta can give me that. So after, when he whispers, "You love me. Real or not real?" I tell him, "Real.” 
― Suzanne CollinsMockingjay

Sebelumnya, aku ingin memberitahu bahwa post ini terlepas dari para pemain hunger Games, Catching Fire dan Mocking Jay. Dimana dalam film, Jennifer Lawrence (JLaw) yang menjadi Katniss akan berpasangan dengan Josh yang menjadi Peeta. Kebanyakan dari kita (terutama cewek-cewek) beranggapan bahwa Liam Hemsworth lebih seksi daripada Josh Hutcherson, dan dari postur tubuh akan lebih cocok jika disandingkan dengan JLaw. Post ini bukan untuk mencocok-cocokan antara JLaw dengan Josh, ataupun tidak mendukung JLaw dengan Liam. Tapi post ini berfokus pada how Katniss feel about Peeta, and why she choose him in the end, literally about the story, not the cast. 

Kita semua (yang sudah nonton film atau baca novel pastinya) tau pada awalanya Katniss tidak merasakan perassaan apapun pada Peeta. Yang Katniss ingat hanyalah roti yang Peeta berikan padanya pada saat ia sedang kelaparan hingga sekarat. Hanya sebatas itu. Tapi mengapa pada akhirnya setelah melewati berbagai peristiwa, ia justru lebih mencintai Peeta daripada Gale?

Menurut pendapat saya pribadi hal itu dikarenakan Peeta dapat melengkapi Katniss. Seperti yang dituliskan Collins dalam bukunya, yang Katniss butuhkan bukanlah api yang membara karena ia sendiri sudah memilikinya, tapi yang ia butuhkan adalah dandelion yang mengingatkannya bahwa sesuatu yang hancur masih bisa diperbaiki, dan sesuatu yang hilang masih menimbulkan harapan.

Mereka berdua berbagi kesedihan, ketakutan dan keresahan bersama. peeta selalu ada untuk Katniss disaat ia bermimpi buruk. Peeta dengan "dandelion"nya dapat menenangkan Katniss. Peeta dan Katniss sama-sama hancur setelah pertandingan, tetapi dengan Peeta, Katniss bisa bertahan, dan dengan Katniss, Peeta bisa bertahan. Mereka menguatkan satu sama lain, dan mereka saling meyakinkan satu sama lain bahwa semua akan baik-baik saja selama mereka bersama.

Dan tidak ada yang lebih indah daripada cinta dua orang yang saling menguatkan satu sama lain.
.
.
"will you stay with me?"
"always"
.
.
Ah, ngomong apa aku ini?

Senin, 28 Maret 2016

Early Recollection dan Hikmah Masa Lalu

Alhamdulillah, sepertinya masuk jurusan psikologi membawa hikmah tersendiri bagiku.

Hari ini hari pertama diriku dan teman-teman menjalani UTS. Dan hari ini, mata kuliah yang diujikan yaitu Teori Kepribadian Klasik. Salah satu bahasan yang ada didalam mata kuliah tersebut adalah "Individual Psychology" yang diprakarsai oleh Adler. Disitu Adler berpendapat bahwa manusia terlahir lemah, kemudian manusia berusaha menunjukan potensinya. Untuk penjabaran lebih lanjut, mungkin teman-teman bisa membaca buku karya Feist, Feist dan Robert berjudul Theories of Personality.

Yang mau aku sampaikan terkait Adler adalah salah satu istilahnya Early Recollection. Istilah itu menjelaskan tentang memori-memori yang biasanya diingat dan direkonstruksi oleh seseorang. Dikatakan bahwa pasien dengan tingkat kecemasan yang tinggi akan cenderung merekonstruksi ingatan-ingatan yang membuatnya cemas dan ketakutan. Early Recollection tidak menentukan masa depan seseorang, karena Early Recollection seseorang bergantung pada keadaan orang tersebut pada masa sekarang. Bagaimana ia memandang kehidupannya sekarang bisa mempengaruhi Early Recollectionnya.

Mengetahui hal tersebut, aku tersadar. Selama ini mungkin aku cenderung memanggil memori-memoriku yang menyakitkan karena aku menghadapi hidup dengan penuh kecemasan. Mau jadi apa aku? Mau tinggal dimana aku? Mau hidup dengan siapa aku? Aku mencemaskan hal-hal yang seharusnya tidak aku cemaskan.

Ku teringat pesan ibuku tempo hari, yang berisi bahwa ketika kita menaiki pesawat, seringkali kita tidak khawatir akan bahaya karena kita percaya pada pilotnya, Kita percaya bahwa pilot tersebut dapat membawa kita mencapai tujuan kita dengan selamat. Jika begitu, bagaimana bisa kita tidak percaya pada Tuhan yang membawa kita pada kehidupan?

Kini, ku punya satu PR yang besar, yaitu melatih diriku untuk lebih bersyukur atas diriku sekarang, yang dilimpahi dengan rahmat dan nikmat dari-Nya. Ku juga harus bersyukur atas pelajaran berharga yang telah kualami dan tidak merasa cemas lagi, karena masa lalu tidak akan mengubah masa depan.
Masa lalu hanya menjadi langkah bagi kita dalam menjalani kehidupan yang akan datang.

Semoga di kehidupan yang akan datang, kita hidup di kehidupan yang dipenuhi oleh kebahagiaan :)

Minggu, 13 Maret 2016

the Future and the Memory

Kali ini aku benar-benar berpikir.
Bukan berarti aku tidak pernah berpikir sebelumnya, tapi kali ini aku berpikir sampai menangis. Ya, menangis karena aku sangat kebingungan.

Berawal dari pikiran yang terlintas, "mau kemana aku setelah ini?"

Mendengar cerita dari senior, melihat lingkungan sekitar, dan meraba akan seperti apa dunia di masa yang akan datang, ku tak bisa melihat diriku ada di dalamnya.

Aku seperti berada dalam dimensi lain dari hidup yang aku sendiri tidak bisa mengerti ada di sebelah mana dimensi itu dari dunia nyata.

Kau pernah bertemu diriku yang bahagia, dan menebarkan senyum, berusaha memberikan energi positif pada lingkungan sekitar? Mungkin itu diriku yang bahagia, diriku yang aku buat sejak sekitar 5-6 tahun terakhir.

Kau pernah bertemu diriku dengan wajah sendu, mata sembab, dan punggung bongkok seperti menahan beban yang amat berat? Mungkin kau hidup bersamaku di masa lalu, sekitar 6-7 tahun yang lalu.

Kau pernah bertemu diriku dengan semangat yang sangat tinggi, dan emosi yang tidak terkontrol? Mungkin kau adalah teman di masa yang amat sangat lampau.

Untuk memikirkan bagaimana  masa depanku, aku selalu tertarik ke masa lalu. Masa dimana aku ingin ubah namun tak bisa. Memikirkan masa lalu bagiku seperti tidak ada habisnya. Karena setiap nano meter dari memori menyakitkan yang lalu ingin ku hapus.

Namun aku tau aku bodoh jika meyakini itu. Pernah ku bilang pada orang tuaku andaikan aku terkena suatu penyakit yang membuatku lupa, hilang ingatan. Orangtuaku marah seketika itu. Aku mengangis menitikan air mata, mereka menangis dalam diam. Jika ku ingat lagi sekarang, aku tau apa yang aku ucapkan pada saat itu adalah hal yang bodoh, dan aku berharap Tuhan tidak mendengar itu, walaupun aku tau pasti Tuhan dan malaikat-Nya mendengar hal itu.

Melewati lorong waktu yang kubuat membuat seluruh energiku habis. Aku tau hal tersebut sangat tidak berguna, namun ku tidak tau selalu ada gravitasi yang menarik diriku untuk terus masuk dalam lorong itu, walaupun aku tidak mau. Mungkin aku belum berdamai dengan diriku sendiri, dan mungkin ada hal yang belum terselesaikan sehingga aku terus menerus tertarik dalam lorong tersebut.

Sekarang, aku masih berusaha untuk mencari kedamaian dalam diriku, dan terus meyakinkan diriku sendiri bahwa semua yang terjadi pasti berakhir dengan bahagia.

Sekarang, dengan takdir yang aku hadapi, takdir yang membuatku menjadi manusia yang berusaha untuk menjadi manusia yang lebih baik dari hari ke hari, aku ingin berterimakasih.

Terimakasih atas hidup yang indah ini, Tuhan, yang membuatku percaya bahwa setelah setiap jalanan berbatu, selalu ada taman berbunga yang indah dihiasi pelangi membujur dari timur ke barat di ujung jalan sana.

Tuhan selalu punya cara untuk menunjukan kasih sayang-Nya, asalkan manusia percaya.

Dan aku percaya,

aku tidak ingin menangis lagi.



nb ;
Terimakasih sahabat dan keluarga yang telah menemaniku selama ini dengan cinta dan kasih. Semoga kita semua berkumpul kembali dalam kehidupana abadi, karena mungkin disana aku akan kesepian tanpa kalian.

Untuk sahabatku yang pernah bertanya apa arti gengsi, yang tempo hari aku janjikan untuk kutulis di blog tapi tidak bisa kutepati, semoga jawaban yang aku berikan (walaupun lewat jaringan pribadi) menjadi sedikit pencerah. Dan terimakasih atas dukunganmu selama ini, aku tau sahabat, walaupun kamu, dan kalian jauh, kalian akan selalu ada. Terimakasih :)

Selasa, 01 Maret 2016

(Ku Sudah Pernah Mencoba) Melawan Takdir

Seringkali ku berucap kepada seseorang bila ditanya akan masa depan;
"Biar takdir yang berbicara"
"Biar takdir yang menunjukan"

Aku berucap seperti itu bukan tanpa alasan.

Pernah kucoba melawan takdir, sekali dua kali, mempertahankan apa yang ingin aku pertahankan. Akan tetapi, skenario Tuhan berkata lain, membuatku terjebak dalam disorientasi waktu dan ruang, mencoba menerka ujung cerita ini dalam ketakutan yang amat sangat.

Pengalaman sekali dua kali itulah yang membuatku sadar bahwa sekuat apapun keinginan hati kita akan suatu hal, rencana Tuhan selalu akan lebih baik. Ku sudah membuktikannya sekarang, saat ini, jaket kuning mungkin merupakan salah satu contohnya.

Maka dari itu, begitu juga denganmu. Mungkin kamu adalah keinginan hatiku yang ingin kupertahankan. Akan tetapi, aku meyakinkan diriku bahwa rencana-Nya akan jauh lebih baik. Mungkin denganmu, atau tidak denganmu. Tergantung takdir nanti berkata apa. Karena sudah cukup doa untuk memperjuangkanmu, dan aku tidak ingin terus menerus berkubang dalam doa itu, karena siapa tahu ternyata doa yang selama ini kupanjatkan bukanlah berujung padamu, namun pada orang lain yang mungkin namanya saja sekarang aku belum tau.

Aku tidak ingin berdoa, "Ya Tuhan, tolong pertemukan aku dengannya", karena aku tidak tahu nantinya dengan siapa aku bertemu.

Tapi aku ingin berdoa, "Ya Tuhan, bahagiakanlah kami dengan siapapun kami bersama kelak", karena dengan doa seperti itu, aku dan kamu, kita bisa bahagia walaupun tidak bersama.

Walaupun ku berdoa seperti itu, jauh dalam hatiku ku masih mengharapkan bahwa suatu hari kau datang ke rumah orang tuaku untuk menjemputku.

Untuk sekarang ku merasa sedih jika membayangkan pada akhirnya kamu memilih orang lain yang lebih bisa melengkapimu. Meskipun begitu, kali ini aku tidak akan melawan takdir. Karena aku yakin pasti rencana-Nya jauh lebih baik. Dan ku sudah pernah membuktikannya.

Ku sudah pernah mencoba melawan takdir, dan semoga tidak lagi.

Senin, 29 Februari 2016

Satu kali dalam 4 tahun

29 Februariku yang lalu, 29 Februari 2012, ku masih bersama kalian.

Entah kenapa waktu berjalan dengan cepat.

Pagi itu aku terbangun dengan hati yang sesak. Mulai mengumpulkan kesadaran untuk membedakan antara dunia nyata dan alam mimpi.

Sejujurnya, aku bingung mengkategorikan mimpi ini sebagai mimpi indah atau bukan. Karena ku bahagia bertemu dengan kalian, namun kemudian ku merasa hampa karena aku kembali ke realita dimana aku hidup tanpa kalian.

Apa yang telah kalian, dan yang kita lakukan sehingga aku selalu merindukan kalian? Padahal sebelum aku bertemu kalian, aku bisa menjalani hidup sebagaimana biasanya.

Ah, katakan saja bila ku sedang rindu.
Mungkin dua tahun cukup untukku membiasakan diri hidup tanpa kalian. Tapi tidak dengan menjinakkan rasa rindu yang terus bersahut-sahutan.

Aku selalu berharap semoga kalian selalu mendapat yang terbaik dalam hidup kalian.

Semoga Tuhan selalu melindungi kalian, dimanapun kalian berada.

Aku sayang kalian, saudara-saudaraku..

Nb ; Ada seorang sahabat yang bertanya padaku mengenai gengsi pada diri manusia, dan aku berjanji padanya untuk memposting tulisan tentang hal tersebut di blog ini. Semoga cepat selesai tulisannya, dan maafkan aku, sahabat, karena membuatmu menunggu.. :)

Kamis, 25 Februari 2016

Tentang Perasaan Bersalah

Terinspirasi dari kalimat yang aku baca di suatu blog ;

"Rasa bersalah itu datang dari hati yang bersih. Ibarat kertas yang putih, ketika ada noda setitik, maka akan mengganggu seluruh pemandangan kertas tersebut"

Mungkin perasaan bersalah lumrah dialami oleh semua orang. Perasaan bersalah seringkali kita alami ketika kita merasa kita telah membuat orang lain kecewa. Entah akibat perbuatan kita yang mungkin menyakiti perasaannya, ataupun harapan seseorang yang tidak bisa kita wujudkan. Dan perasaan bersalah itu sama sekali nggak enak-terkadang kita memikirkan cara apa yang bisa kita lakukan agar kita bisa menghilangkan rasa bersalah ini dan membuat keadaan menjadi lebih baik.

Aku pribadi pun sering mengalami perasaan bersalah yang tak terhitung jumlahnya. Perasaan bersalah kepada sahabatku di kampus karena aku tidak meluangkan waktu lebih untuknya, perasaan bersalah kepada teman oraganisasiku karena aku belum bisa jadi pribadi yang lebih rajin,  dan juga perasaan bersalah kepada orang tuaku karena aku belum bisa memenuhi harapan mereka untuk mendapatkan nilai cumlaude di psikologi. (Seriously, mom, dad, its really difficult for me to get A score... Not just simple as in elementary school...)

Lalu apakah dengan perasaan bersalah ini kita tidak bisa memperbaiki keadaan?
Iya, menurutku justru perasaan bersalah akan membuka jalan untuk membuat keadaan jauh lebih baik lagi. Apabila perasaan bersalah kita ubah menjadi emosi positif, kita akan mendapatkan bahan bakar untuk terus berbuat lebih baik dan lebih baik lagi.

So, I hope you guys to change the guilty feelings in to positive emotion. Then, we can enjoy the life that we deserved :)

Happy Friday :)

nb. Aku juga minta maaf bagi semua pihak yang pernah aku kecewakan. Terutama yang saat ini sedang sering berinteraksi denganku, pasti banyak hal dariku yang membuat kalian kecewa. Semoga kita sama-sama belajar agar kita sama-sama menjadi dewasa seiring dengan pengalaman dan kebersamaan...

Sabtu, 30 Januari 2016

Aku masih aku, dan kita masih kita

Post ini bermula dari percakapan dengan seorang teman. Ia mengatakan kepadaku agar aku memposting sesuatu kembali di blog ini. Sejujurnya aku lebih senang mengutarakan pendapatku di sebuah diary yang setiap hari kubawa tidur bersamaku. Alasannya simpel, karena diary lebih bersifat personal sehingga aku merasa aman mengutarakan seluruh isi hatiku disitu. Akan tetapi, perkataannya membuat aku tergugah untuk kembali menulis di blog. Ia berkata kalau kita tidak akan pernah tau seberapa inspiratif tulisan kita. Bisa jadi yang menurut kita hal tersebut hanyalah tulisan biasa, bagi orang lain hal tersebut dapat menginspirasi. Maka dari itu, mulailah aku menulis kembali blog yang kosong dalam waktu lama ini.

Awal tahun 2016, aku bersyukur karena diberikan kesempatan untuk mengalami 2 peristiwa besar dalam hidupku; bertambahnya usiaku menjadi kepala dua, dan Roadshow IAIC 2016

Mengapa Roadshow IAIC 2016 merupakan peristiwa besar dalam hidupku? karena Roadshow mempertemukan aku dengan kawan-kawan, adik-adik kelas dan sivitas Insan Cendekia yang sudah lama tidak berjumpa. Dan dari situ, aku belajar 2 hal dari perjalanan waktu; waktu bisa mengubah beberapa hal, tapi ada beberapa hal lainnya yang tidak bisa diubah oleh waktu.

Perubahan ini kurasakan ketika aku bertemu dengan teman-temanku kembali. Walaupun secara fisik, mereka tidak begitu berubah (karena belum bertahun-tahun juga), tetapi secara sikap dan sifat mereka lumayan cukup berubah. Diantaranya lebih lantang dalam menyuarakan pendapat, pemikiran tentang sosial-politik yang lebih berat, dan lebih dewasa dalam menghadapi adik-adik kelas.

Akan tetapi, ada yang tidak berubah dari kita ; persaudaraan.

Kenyamanan ketika bertemu kalian masih terasa sama. Kebahagiaan ketika bertemu kalian masih terasa sama. Kelucuan saat bertemu kalian masih terasa sama.

Ya, persaudaraan ini masih sama. Karena kita terlahir dari rahim yang sama; Insan Cendekia

Selamat berjuang kawan, kutunggu kabar membahagiakan dari kalian ketika sukses kelak. Dan ketika saat itu tiba, sampai rambut kita memutih dan tulang kita membungkuk, kuharap persaudaraan kita masih sama. Semoga aku masih aku, dan kita masih kita, dalam keadaan yang lebih baik dan terus lebih baik dari sebelumnya.

bonus ; foto-foto!
Galexvier, kelas paling bersejarah (?) seumur hidup :)


Alhamdulillah, banyakan yang ikut foto. Biasanya pada sibuk ;'''

Kalian masih sama, masih kocak, hihi :D

Bahagia itu sederhana, salah satunya ngerasain makanan kantin lagi bareng kalian :)