Jumat, 13 September 2019

Rabial Al Adawiyah

"Ya Illahi! Jika sekiranya aku beribadah kepada Engkau karena takut akan siksa neraka,
maka bakarlah aku dengan neraka-Mu.
Dan jika aku beribadah kepada Engkau karena harap akan masuk surga, maka haramkanlah aku daripadanya!
Tetapi jika aku beribadah kepada Engkau hanya karena semata-mata karena kecintaanku kepada-Mu,
maka janganlah, Ya Illahi, Engkau haramkan aku melihat keindahanmu yang azali." - Rabiah Al Adawiyah

Pertama kali mendengar tentang Rabiah Al Adawiyah di madrasah, aku terkagum-kagum pada sosoknya yang sebegitu mencintai Allah sehingga tidak menikah. Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa saking cintanya beliau kepada Allah, beliau menyibukkan diri dengan beribadah kepada Allah siang dan malam sehingga tidak lagi memikirkan soal pernikahan. Padahal, banyak orang-orang terkemuka pada masa itu yang hendak meminang Rabiah.

Beliau berkata, "Bagaimana aku bisa hidup tenang, jika aku tidak tau ketika aku mati, apakah aku akan membawa iman bersamaku? Apakah buku amalku akan diletakkan di tangan kanan atau kiriku? Dan kemanakah tempatku setelah hari hisab nanti?". Di satu titik itu, aku sangat mengagumi beliau karena kecintaan beliau yang besar terhadap Ilahi.

Akan tetapi, masih ada satu hal di pikiranku yang masih jauh 'maqamnya (atau kedudukannya)' dari beliau : aku enggan menikah karena takut. Sejujurnya aku tidak mau merepotkan orang lain (yang mungkin nantinya aku sebut suami) dengan diriku yang aku sendiri kerepotan menghadapinya. Diri yang paling tidak dua atau tiga hari sekali menangis tanpa sebab, entah karena teringat hantu dari masa lalu ataupun merasa diri ini belum berguna.

Belum lagi ketika nanti punya anak, aku takut bahwa aku tidak bisa menjaga amanah besar dari Allah. Kita tidak pernah tau perkataan kita bagian mana yang akan menyakitkan hati anak kita, membuat dia tumbuh dewasa membawa duri yang kita tancapkan sendiri kepada dirinya. 

Aku jadi teringat suatu masa ketika kuliah, aku berdiskusi dengan teman yang aku rasa cukup baik ilmu agamanya. Aku bertanya; "Kira-kira, bisa ngga di masa sekarang, aku hidup seperti Rabiah Al Adawiyah, yaitu hidup dengan tidak menikah?"
Dia menjawab, "Kembali lagi ke dirimu, apakah kamu merasa sudah sesholihah Rabiah? Apakah intensitasmu mendekatkan diri pada Allah sudah sebaik dan sebanyak beliau?"

Ah iya, untuk mencapai maqam Rabiah Al Adawiyah, aku harus terus berusaha untuk mendekatkan diri pada Allah sebanyak dan sebaik beliau. Mungkin poin itu yang masih harus terus ku ulangi di kepala dan hatiku.

Bismillah, tunjukanlah hamba jalan yang terbaik, ya Rabb.   

Sabtu, 17 Agustus 2019

Hidup Masing-Masing

Ada dua alasan untuk kuliah di Jogja :
1. Dekat rumah, 2. Supaya bareng sama teman-teman main di madrasah. Akan tetapi, karena beberapa pertimbangan, akhirnya aku mantapkan diri untuk kuliah di Jakarta. Memang sejujurnya agak sulit untuk beradaptasi pada masa kuliah. Budaya yang berbeda dengan budaya di madrasah dulu, ditambah postingan foto teman-teman yang sering jalan-jalan di jogja, membuat hari-hari adaptasi semakin sulit, terutama adaptasi hati dalam masalah syukur.

Beberapa tahun terlewat, dan kini hari-hari adaptasi juga terlewati dengan (bisa dibilang) baik. Meski demikian, impian untuk kuliah di Jogja tetap ada. Kali ini pertimbangannya ditambah satu : jurusan kuliah yang ingin didalami sebagai sarana untuk mengabdikan diri.

Kalau dipikirkan lagi, ketika kita berkuliah dimanapun, asalkan kita tau apa yang kita kejar, pasti kita akan mendapatkan hal tersebut. Innal  a'malu binniyat. Toh, aku yakin silaturrahmi akan tetap terjaga dimanapun kita berada, asalkan kita berusaha untuk menjaganya.

Dan kini, semua teman hidup dalam dunianya masing-masing. Ada yang bekerja dalam rangka menambah pengalaman, ada yang melanjutkan kuliah profesi, dan ada juga yang masih mencari-cari (seperti yang nulis hehe). Semua untuk satu tujuan : menjadi manusia yang bisa menebar kebermanfaatan. Dan nanti, ketika masanya kita bertemu, semoga kita bertemu kembali dalam kondisi yang lebih baik lagi dari saat ini, menjadi diri kita yang sudah bertumbuh dan berkembang.

"bila tua nanti kita telah hidup masing-masing, ingatlah hari ini" 

Minggu, 14 Juli 2019

Area Abu-Abu

Terkadang, satu kalimat nasihat bisa dimaknai dengan arti yang berbeda oleh orang yang sama di waktu yang berbeda, salah satu contohnya adalah nasihat untuk menjaga jarak dengan lawan jenis yang bukan mahram.

Ketika di madrasah, aku berkali-kali diingatkan untuk menjaga jarak dengan lawan jenis yang bukan mahram. Alasan utamanya karena perintah agama. Luckily, lingkungan sekitar pun mendukung untuk menjaga jarak dengan lawan jenis. Berkomunikasi hanya sebatas keperluan saja. That's it, aku tidak mempertanyakan hal tersebut lebih lanjut, pun tidak ada pemaknaan yang berarti terkait nasihat tersebut.

Tetapi, nasihat itu menjadi sangat bermakna pada tahun lalu, ketika seorang ustadzah menasihati dalam suatu forum. Nasihat tersebut sangat masuk ke hati dan pikiran, terutama ketika ustadzah mengucapkan kalimat "Menjaga jarak dengan lawan jenis non mahram yang kamu kenal contohnya sesimpel menghindari boncengan, walaupun itu temanmu yang kamu kenal. Karena kadang rasa suka timbul dari boncengan".

Mak jleb, aku merasa tertohok, tersungging, dan teriris di saat yang bersamaan. Jelas saja karena aku pernah mengalaminya sendiri.

"Bukan berarti rasa suka itu dilarang, tapi bagaimana kita mengatur rasa suka itu dalam koridor yang tepat sesuai dengan ajaran agama", tambah ustadzah. Aku mengiyakan nasihat itu dengan rasa malu dalam hati, karena terkadang, yang membuat hubungan terhadap lawan jenis menjadi runyam ada pada bagian "mengatur rasa suka" itu. 

Memang dalam Islam, disebutkan bahwa ketika seorang sudah mampu menikah, maka menikahlah. Jika belum mampu, maka hendaknya orang tersebut berpuasa. Secara pribadi, bukan dalam kapabilitasku untuk menuliskan tafsirnya disini, tapi menurut pendapatku, maksud puasa disini adalah menahan hawa nafsu. Lebih tepatnya, menahan diri dari impian-impian dan harapan akan cinta yang bukan hak kita dari lawan jenis. Tetapi kadang sebagai manusia penuh dosa, impian dan harapan ini sulit dikendalikan. Jatuhnya jadi tarik ulur, sekarang intens ngechat, besok kemudian menjauh.

Kalau kita perhatikan dalam konteks bermasyarakat, memang interaksi antara lawan jenis sangat sulit untuk dihindari. Kondisi ini membuat kita (seharusnya) pandai menjaga perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain. Kalau kata orang-orang, sebenarnya cara mudah untuk menjaga perasaan terhadap lawan jenis itu adalah dengan jangan berharap lebih. Tapi memang praktiknya yang susah. Seringkali meninggalkan kita dalam "area abu-abu". 

Jadi teringat, pembicaraan tempo hari ketika aku berkumpul bersama sahabat-sahabatku. Kami bercerita tentang bagaimana susahnya praktik 'menjaga perasaan' terhadap lawan jenis, termasuk susahnya membatasi interaksi terhadap lawan jenis. Seorang sahabat pun berujar, "Ya kalau sudah begini, balik lagi ke tiap individu, bagaimana kita menjaga diri dan hati kita sendiri". 

Memang seninya disitu ya, seni untuk mengelola diri dalam area abu-abu kita masing-masing.

Jumat, 08 Maret 2019

Tai Kucing

Dulu aku punya seekor kucing.

Ralat : dulu ada seekor kucing yang rutin main ke rumahku sehingga aku mengklaim bahwa dia adalah milikku.

Sebagaimana kucing liar biasanya, awalnya dia datang ke rumahku untuk mencari makan. Sekali dua kali ku beri dia sisa-sisa makanan, baik itu berupa tulang ikan ataupun ayam yang ada di rumah. Semakin lama aku semakin sayang padanya. Kadang ku elus tubuhnya yang berbulu hitam putih dan ku ajak berdansa (read : menyiksa dengan memaksanya berjalan dengan kedua kaki belakang sedangkan kedua kaki depannya ku genggam). Sesekali aku menggumamkan lagu dansa khas anak kecil sambil berpura-pura berdansa dengannya, sedangkan dia agak pasrah dengan mata lucunya menatap padaku.

Merasa diterima di rumah, ia pun mulai tinggal lebih lama di rumahku dari biasanya. Mungkin bisa dibilang, dia juga mulai menganggap rumahku sebagai rumahnya.

Sampai pada suatu malam, ketika aku sudah merasa lelah dan hendak beristirahat, aku menemukan sesuatu diatas kasurku. Ku teliti dan ku cermati, ternyata itu adalah seonggok tai kucing. Ya, dia meninggalkan kotorannya di atas tempat peristirahatanku.

Sontak ku mengamuk, ku menangis. Sedangkan orang tuaku hanya menggeleng-geleng melihat anak perempuan kecilnya mengamuk karena ada tai kucing di atas kasurnya.

Pada saat itu aku merasa dikhianati oleh si kucing, karena ku berpikir aku sudah memberikan kasih sayangku padanya, memberinya makan dan mengelusnya. Akan tetapi dia membalasnya dengan memberikan tainya diatas kasurku.

Sejak saat itu aku tidak bisa mengontrol emosiku bila bertemu dengannya. Kadang ku memakinya, mengusirnya, atau bahkan pernah melemparnya ke luar rumah. Penyiksaan padanya ku lakukan sampai pada akhirnya dia tidak pernah lagi datang ke rumahku,

...dan aku sadar, aku merasa kehilangan.

Setelah dewasa, kadang ku berpikir, tidak seharusnya aku berlaku kasar padanya hanya karena satu kesalahannya. Mestinya aku bisa memaafkannya dan kembali menikmati sore kami dan bermain bersama. Atau mungkin seharusnya aku meminta orang tuaku untuk membelikan wadah berak kucing dengan pasirnya, kemudian mengajarinya untuk berak pada tempatnya,

aku seharusnya bisa lebih menerima dia dengan apa adanya,

karena tai kucing bisa dibersihkan, tapi kucing yang bisa menyentuh hatimu mungkin hanya akan datang sekali dalam seumur hidupmu.

Rabu, 05 September 2018

Perjalanan Kereta dan Hikmahnya

Setiap perjalanan memiliki hikmahnya sendiri, termasuk dalam perjalanan Semarang-Jakarta yang cukup rutin ku lakukan dengan kereta.

Dalam sebuah perjalanan, pernah ku duduk dikelilingi sekelompok rekan kerja yang pergi berlibur bersama. Keakraban mereka begitu terasa dari lelucon yang mereka lontarkan satu sama lain. Meski aku satu-satunya orang asing dalam kelompok mereka, tapi aku tidak merasa begitu terasing karena sesekali mereka juga melontarkan lelucon padaku.

Dalam perjalanan yang lain, pernah ku duduk di depan sepasang kekasih. Mereka begitu saling menyayangi, terlihat dari cara mereka menatap satu sama lain diiringi dengan kata cinta yang diselipkan dalam percakapan mereka. Bahkan mereka berpegangan tangan dengan jemari yang bertautan ketika mereka tertidur di kereta. Aku yang sendirian hanya bisa tersenyum melihat tingkah mereka.

Pernah juga, dalam suatu perjalanan, ku duduk di depan seorang ibu tangguh, seorang ibu tunggal yang hendak melihat sidang skripsi anaknya yang berkuliah di Jakarta. Pengalaman yang beliau ceritakan sangat menggambarkan betapa kerasnya perjuangan beliau untuk membukakan jalan kepada anaknya untuk menjadi orang sukses. Pesan beliau kepada ku yang masih ku ingat, "Kamu kalau sudah menginjakan kaki di Jakarta, jangan pernah pulang ke Semarang. Tempaan di Jakarta bisa membuatmu menjadi apa saja, di Semarang hidup tidak ada tantangan.". Mendengar beliau, aku hanya tersenyum mengiyakan, walau dalam hati agak memberontak. Hipokrit memang, diriku ini.

Namun, ada suatu percakapan yang membekas dalam benakku sampai sekarang. Percakapan itu adalah percakapan dengan seorang pria paruh baya yang duduk di depanku dalam perjalanan kereta Semarang-Jakarta saat statusku menjadi mahasiswa tingkat akhir. Beliau bekerja sebagai karyawan pada salah satu perusahaan konstruksi yang ada di Ibu kota, namun sebelumnya, beliau merupakan pekerja lapangan yang sudah berkeliling Indonesia, di antaranya Kalimantan dan Nusa Tenggara. Setelah berbincang basa-basi sepatah dua patah kata, beliau bertanya suatu hal padaku,

"Habis lulus mau ngapain rencananya?"
"Mungkin mau cari pengalaman dulu Pak di Jakarta, mungkin sekitar setahun, setelah itu melanjutkan S2"
"Kenapa harus cari pengalaman di Jakarta?"

Aku mengangkat alis, mencoba memberi kode untuk menjelaskan arti dari pertanyaan yang diajukan oleh beliau. Beliau kemudian menegakkan posisi duduk dari yang tadinya bersandar di kursi, berusaha untuk membuat suasana menjadi serius.

"Iya, kenapa Mbak harus kerja di Jakarta untuk cari pengalaman?"
"Karena menurut saya, Jakarta itu Ibu kota, banyak kesempatan di sana untuk cari pengalaman"


Beliau mengangguk-angguk, kemudian berucap,

"Menurut saya ya Mbak, cari pengalaman itu nggak harus di Jakarta. Mbak bisa cari pengalaman dimanapun, dimanapun! Justru dengan banyaknya pengalaman (selain di Jakarta), Mbak jadi paham, sebenarnya Mbak bekerja untuk apa? Apa pekerjaan yang memang cocok untuk Mbak? Apa nilai dari yang Mbak kerjakan nanti?"

Beliau kemudian menghela napas, "Sekarang ini orang di Jakarta ini kebanyakan cari uang Mbak, mungkin cuma segelintir yang niatnya benar-benar untuk cari pengalaman. Nah, Mbak cari apa ketika kerja di Jakarta nanti?"

Giliran aku yang menghela napas. Kemudian ku balik bertanya, "Terus, Bapak cari apa (ketika) kerja di Jakarta?"

Beliau tersenyum simpul, "Yaa, Saya realistis aja Mbak, keluarga saya butuh uang. Anak saya sekarang mau masuk kuliah. Pekerjaan saya di Jakarta sudah stabil, sedangkan untuk cari kerja di Semarang, perlu mulai lagi dari awal dan uangnya nggak banyak. Kalau rindu keluarga, saya tinggal pulang saja ke Semarang.".

Aku hanya mengangguk mengiyakan, tapi bukan sebuah anggukan yang munafik. Aku juga ikut mencerna ucapan beliau. Mungkin beliau benar, beberapa dari kita yang ada dalam kereta ini adalah orang-orang yang terjebak dalam mimpi yang ditawarkan oleh Ibu kota, orang-orang yang harus mengejar kereta pada hari Jumat hanya untuk sekadar melepas rindu dengan sanak saudara dan kembali mengejar kereta pada hari Minggu untuk kembali bertarung keesokan harinya.

Dan mungkin, beberapa dari kita yang ada di kereta ini juga mempertanyakan hidup kita, sebenarnya apa yang kita cari di Ibu kota?

Kamis, 23 Agustus 2018

Secangkir Kopi Hitam


Malam itu, masih di kafe yang sama, dengan secangkir kopi hitam di atas meja. Suara musik dari pelantang kafe mengalun syahdu beriringan dengan semilir angin yang menyapa di sudut depan lantai dua. Di sudut itu, terlihat pemandangan jalanan Margonda yang ramai, penuh dengan orang-orang berlalu lalang, entah apa yang mereka kejar. Sedangkan aku, entah apa yang aku lakukan disini sendiri. Entah mengerjakan setumpuk tanggung jawab atau sekadar ingin merefleksikan hidup ; mengapa sampai sekarang di atas meja ini hanya ada secangkir kopi?

Sejak kecil, aku terpapar oleh banyak kisah cinta dan romansa. Cerita tentang seorang gadis biasa yang mendapat pertolongan ibu peri untuk pergi ke pesta dansa dan bertemu pangeran, cerita tentang putri duyung yang menukar ekornya demi bertemu dengan seorang pangeran yang ia cintai, ataupun cerita tentang seorang putri yang terbangun setelah mendapatkan ciuman dari seorang pangeran. Tapi ternyata kisah nyata tidak seindah dongeng. Trauma pertamaku akan 'cinta' dimulai ketika aku kecil, ketika aku belum paham apa itu 'cinta'. Sejak saat itu, aku menarik diri untuk mencari apa yang orang-orang sebut dengan 'cinta', atau apapun itu yang disebut sebagai romansa.

Jika ditanya, apakah kamu sesekali ingin merasakan romansa? Maka aku jawab, ya! Aku juga ingin merasakan pembicaraan mendalam tentang hakikat hidup dan masa depan sambil menatap gemintang, atau berbagi mimpi bersama sembari berkendara berdua di jalanan malam yang sepi, atau sekadar berbagi candaan yang tidak penting. Tapi semua bayangan akan romansa itu hilang ketika aku mengingat, bahwa mungkin ini belum saatnya. Aku takut untuk berbuat dzolim, menempatkan perasaanku pada tempat yang tidak semestinya.

Semakin dewasa, aku belajar bahwa mencintai seseorang dan mencari pasangan hidup merupakan sesuatu yang berbeda. Mencari pasangan hidup merupakan salah satu sunah untuk menyempurnakan separuh agama, dan banyak pertimbangan yang harus dilalui pada prosesnya. Dalam riwayat juga disebutkan bahwa ada beberapa pertimbangan untuk memilih calon pasangan, yaitu hartanya, keturunannya, parasnya, dan agamanya, yang merupakan kriteria paling utama. Sedangkan mencintai, manusia tidak bisa memilih kepada siapa manusia akan menjatuhkan cintanya.

Sejujurnya aku adalah seorang yang mudah mencintai. Aku jatuh cinta pada sinar matahari yang perlahan menghilang saat senja, aku jatuh cinta pada senyuman anak kecil ketika kami bermain bersama, maupun jatuh cinta pada bau tanah setelah tersiram air hujan. Bahkan, aku bisa jatuh cinta hanya pada tulisan yang menyentuh kalbu. Entah apakah kemudahan untuk jatuh cinta ini merupakan sebuah anugerah dari Allah atau bukan? Aku anggap saja demikian.

Maka, ketika aku menganggap ini sebuah anugerah, aku hanya bisa menggantungkan harapan dan cintaku pada Allah. Jika Allah Yang Maha Memberi cinta menitipkan cinta ini untuk ku berikan pada orang-orang di sekitarku, maka aku akan berusaha sebaik mungkin untuk menjaga dan mengelola cinta ini, supaya cinta ini tidak tersesat di jalan yang salah. 

Dengan pemikiran seperti ini, ditambah trauma di masa lalu, tidak heran bahwa secangkir kopi itu tetap secangkir. Mungkin kesendirian dan kesepian telah menjadi sahabatku ; aku lebih nyaman bersama mereka. Meskipun jauh di sudut hati, entah di bagian mana, aku berharap bahwa ada cangkir lain di atas meja ini, entah cangkir berisi teh, susu, air putih, ataupun cangkir yang sama-sama berisi kopi.

Akhirnya ku seruput kembali kopi hitam milikku. Ku rasakan kembali pahitnya kopi itu. Ku sadari mungkin ku sudah terbiasa dengan rasa pahitnya.


Karena aku pernah merasakan hidup yang lebih pahit daripada secangkir kopi hitam

Minggu, 19 Agustus 2018

Pohon yang sama

Di pohon itu,

Seorang gadis kecil berayun bahagia,
sambil mendendangkan lagu gembira,

Di pohon yang sama,
beberapa tahun yang lalu,

Seorang gadis remaja meregang nyawa,
karena putus harapannya akan dunia,

tapi gadis kecil itu tetap bermain dengan riangnya, di pohon yang sama..

Ia sendiri tidak tahu.