Pada liburan semester genap kemarin, saya berkesempatan untuk magang di Satuan Pelayanan Terpadu Jawa Tengah (atau yang biasa disingkat dengan SPT Jateng). SPT Jateng ini merupakan satuan pelayanan yang berada di bawah garis koordinasi dari Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana Provinsi Jawa Tengah yang berfungsi untuk melakukan koordinasi kepada pihak terkait apabila ada kasus masuk yang berkaitan dengan kekerasan perempuan dan anak. Pihak terkait disini adalah pihak yang ikut membantu penyelesaian kasus yang masuk, di antaranya yaitu kepolisian, RSUD, dan psikolog.
Sedikit cerita, job desc yang saya miliki disitu sebenarnya nggak terlalu kaku *alias nggak ada job desc, hehe*, karena sebenarnya SPT Jateng sendiri tidak memiliki program khusus untuk mahasiswa magang. Jadi kerjaan saya kurang lebih membantu pekerjaan yang ada di SPT Jateng dan ikut observasi koordinasi yang dilakukan untuk penyelesaian kasus yang masuk. Pernah juga saya menemani korban di rumah sakit. Meskipun tidak ada jobdesc yang pasti, but I've learned a lot about violence against women and children, termasuk tentang Kekerasan Berbasis Gender.
Mungkin ada yang belum pernah mendengar Kekerasan Berbasis Gender? dan mungkin ada yang belum tau perbedaan Kekerasan Berbasis Gender dan perbedaannya dengan bentuk kekerasan yang lain? Sama, sebelum magang saya juga belum tau. But here it is, saya ingin sharing beberapa hal terkait itu.
Berdasarkan pada PKBI DIY (n.d.), Kekerasan Berbasis Gender (KBG) merupakan kekerasan yang berlandaskan pada asumsi gender dan atau seksual tertentu. Maksud dari asumsi gender adalah terkait dengan sifat atau karakteristik dari gender yang biasa menjadi korban (dalam blog ini lebih terfokus pada perempuan). Misalnya kekerasan seksual seperti perkosaan yang dilakukan oleh pelaku karena menganggap wanita lemah dan tidak berdaya untuk melawan. Ada beberapa kasus kekerasan yang dapat digolongkan ke dalam KBG, di antaranya yaitu perkosaan, termasuk intimidasi dan pemaksaan aktivitas seksual, pemaksaan aborsi, pemaksaan perkawinan, penelantaran ekonomi dan pemiskinan, maupun tradisi bernuansa seksual dan lainnya yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan (PKBI DIY, n.d.).
Berdasarkan hasil pengamatan fenomena yang terjadi di lapangan pada saat melaksanakan magang, masih banyak KBG yang terjadi (khususnya di Jawa Tengah) dan sangat merugikan pihak perempuan. Tidak hanya satu atau dua korban yang datang dengan masalah seperti perkosaan, penelantaran ekonomi oleh suami, bahkan pengancaman dan kekerasan dalam rumah tangga. Akhirnya, banyak dampak yang ditimbulkan akibat KBG yang dialami oleh korban, di antaranya yaitu rasa malu, kurangnya produktifitas, dan bahkan trauma yang membekas.
Dalam opini saya KBG bisa kita cegah dan atasi. Selain dari penegakan hukum seperti pengesahan RUU kekerasan seksual, salah satu yang bisa dilakukan yaitu dengan penanaman cara pikir (paradigma) terkait gender, khususnya kesetaraan gender. Kesetaraan gender disini lebih ditekankan pada kesetaraan hak yang dimiliki wanita baik dalam hal pendidikan, rasa aman, maupun yang berhubungan dengan consent dalam aktivitas seksual. Apabila cara pandang terkait kesetaraan gender bisa tercapai, maka bukan hal yang mustahil tingkat KBG di Indonesia akan berkurang.
Special thanks to :
Semua pihak yang sudah membantu, dan memberikan banyak pelajaran pada saya selama kegiatan magang di SPT Jateng. Terkhusus kepada Bu Sri Kusuma Astuti selaku kepala DPPPA Dalduk KB Jateng, Pak Zaenal Arief Kepala Sub Bagian Umum dan Kepegawaian, Bu Isnaini Sulistyawati selaku kepala SPT Jateng dan Pak Hanityo selaku kepala TU SPT Jateng, dan juga mas dan mbak (Mbak Mawar, Mbak Rias, Mbak Riris, Mbak Yani, Mbak Novi, Mas Misrin, Mas Ian, dan Mas Adib). Sekali lagi terima kasih banyak kepada semua pihak, termasuk yang tidak saya sebutkan (karena saking banyaknya), saya sangat beruntung bisa belajar banyak dari SPT Jateng, dan semoga ilmu yang saya dapat bisa bermanfaat.
Source (and for further reading) : http://pkbi-diy.info/?page_id=3540