Sesungguhnya post ini ditulis bukan karena aku tidak bersyukur atas apa yang aku dapatkan, sama sekali tidak. Post ini kutulis sebagai refleksi atas apa yang sebenarnya ku kejar dalam hidup ini.
Post ini berawal dari ketidakpuasanku selama berkuliah di salah satu universitas (yang katanya) terbaik di Indonesia. Entah kenapa selama hampir 3 tahun berkuliah disini, aku merasa tidak menikmati perkuliahan yang ada. Meskipun aku bersyukur dipertemukan dengan banyak orang baik, orang-orang hebat, akan tetapi tetap aku merasa ada yang kurang dalam hidup selama berkuliah disini.
Pada awal masuk, seperti kebanyakan mahasiswa baru, aku memiliki banyak mimpi meraih prestasi di kampus ini. IPK cum laude, pertukaran pelajar di luar negeri, dan lain-lain. Mimpi-mimpi itu kandas karena berbagai hal, seperti energi yang habis hanya karena memikirkan bagaimana caranya beradaptasi di lingkungan kampus. Entah berapa banyak liter air mata yang habis hanya karena hal sepele, salah satunya karena memikirkan apa yang sebenarnya aku kejar selama ini?
Menyesalkah aku? bisa dikatakan mungkin sedikit menyesal. Andai saja waktu itu aku berpikir lebih lama, andai saja waktu itu aku lebih memperhatikan apa yang sebenarnya aku inginkan, andai saja waktu itu aku sedikit lebih egois, dan banyak lagi andai-andai lain. Pada awalnya aku berpikir bahwa materi dan relasi merupakan keunggulan yang bisa aku dapat selama berkuliah disini. Ternyata untuk mendapatkan dua hal itu, aku harus mengeluarkan energi yang sangat besar, yang menurutku sangat tidak sebanding dengan apa yang aku dapat. Sungguh tidak sebandng.
Lalu, sebenarnya apa yang aku kejar? Pertanyaan itu masih menghantui setiap saat selama 3 tahun ini. Mungkin jika aku memang ingin mengejar apa yang orang-orang sebut dengan "keren", aku bisa berjuang untuk mendapatkannya. Mungkin jika aku memang ingin bertahan disini, aku akan berusaha lebih keras hingga tidak ada energi lagi yang tersisa. Tapi ternyata tidak, aku tidak menginginkan semua itu.
Yang sebenarnya aku inginkan adalah sebuah tempat hangat dimana aku bisa merasa aman dan nyaman berada disana. Yang aku inginkan adalah sebuah tempat dimana aku bisa menjadi diri sendiri. Tempat dimana aku bisa menyebut itu sebagai "rumah"
Dan mungkin itu mimpi baruku, sebuah mimpi yang tertunda.
Senin, 27 Maret 2017
Minggu, 19 Maret 2017
Sebuah Kata Cinta
Rey, kita sudah lama bersama, tidakkah itu cukup bagimu? Kita sudah mengalami hari baik dan hari buruk bersama. Aku tau segala kekuranganmu, begitupun kamu. Kita sudah berjanji akan melawan dunia beserta segala kekejaman dan keputusasaan yang ada didalamnya, dan kau tau itu. Bukankah kita saling mendukung satu sama lain?
Perubahan dirimu kurasakan pada suatu hari, ketika datang seorang pria dalam hidup kita. Aku melihat perubahan wajahmu saat aku menatapnya. Emosi yang menunjukan bahwa kau cemburu padanya.
Aku meyakinkanmu, "Tenanglah, persahabatan kita tidak akan berubah. Kita masih bisa jalan bareng, kan?"
Tapi kau ingin lebih dari sekedar persahabatan. Mungkin kau tidak ingin ada orang lain di antara kita. Mungkin kau ingin hanya kita berdua melawan dunia.
Maka, pada suatu malam, kau datang ke apartemenku, membawa sebuah senjata yang aku sendiri tidak menyangka kau bisa mendapatkannya darimana. Kau berkata bahwa kau sangat membutuhkanku dan tidak ingin ku dekat dengan pria lain. Ku lihat keputusasaan di wajahmu, sama seperti keputusasaanmu pada tahun-tahun yang kita lewati bersama.
Sama sepertiku, dengan keputusasaanku terhadap kehidupan dunia.
Maka, ku menghampirimu, dan memelukmu erat. Kau menjatuhkan senjatamu dan membalas pelukanku. Kita menangis bersama.
"Aku mencintaimu", katamu. "Bisakah kita melawan dunia hanya berdua saja?"
Aku mengangguk dalam pelukanmu. Kini ku tau, ku sudah terikat dalam keputusasaan bersamamu.
Perubahan dirimu kurasakan pada suatu hari, ketika datang seorang pria dalam hidup kita. Aku melihat perubahan wajahmu saat aku menatapnya. Emosi yang menunjukan bahwa kau cemburu padanya.
Aku meyakinkanmu, "Tenanglah, persahabatan kita tidak akan berubah. Kita masih bisa jalan bareng, kan?"
Tapi kau ingin lebih dari sekedar persahabatan. Mungkin kau tidak ingin ada orang lain di antara kita. Mungkin kau ingin hanya kita berdua melawan dunia.
Maka, pada suatu malam, kau datang ke apartemenku, membawa sebuah senjata yang aku sendiri tidak menyangka kau bisa mendapatkannya darimana. Kau berkata bahwa kau sangat membutuhkanku dan tidak ingin ku dekat dengan pria lain. Ku lihat keputusasaan di wajahmu, sama seperti keputusasaanmu pada tahun-tahun yang kita lewati bersama.
Sama sepertiku, dengan keputusasaanku terhadap kehidupan dunia.
Maka, ku menghampirimu, dan memelukmu erat. Kau menjatuhkan senjatamu dan membalas pelukanku. Kita menangis bersama.
"Aku mencintaimu", katamu. "Bisakah kita melawan dunia hanya berdua saja?"
Aku mengangguk dalam pelukanmu. Kini ku tau, ku sudah terikat dalam keputusasaan bersamamu.
Langganan:
Postingan (Atom)