Minggu, 13 Maret 2016

the Future and the Memory

Kali ini aku benar-benar berpikir.
Bukan berarti aku tidak pernah berpikir sebelumnya, tapi kali ini aku berpikir sampai menangis. Ya, menangis karena aku sangat kebingungan.

Berawal dari pikiran yang terlintas, "mau kemana aku setelah ini?"

Mendengar cerita dari senior, melihat lingkungan sekitar, dan meraba akan seperti apa dunia di masa yang akan datang, ku tak bisa melihat diriku ada di dalamnya.

Aku seperti berada dalam dimensi lain dari hidup yang aku sendiri tidak bisa mengerti ada di sebelah mana dimensi itu dari dunia nyata.

Kau pernah bertemu diriku yang bahagia, dan menebarkan senyum, berusaha memberikan energi positif pada lingkungan sekitar? Mungkin itu diriku yang bahagia, diriku yang aku buat sejak sekitar 5-6 tahun terakhir.

Kau pernah bertemu diriku dengan wajah sendu, mata sembab, dan punggung bongkok seperti menahan beban yang amat berat? Mungkin kau hidup bersamaku di masa lalu, sekitar 6-7 tahun yang lalu.

Kau pernah bertemu diriku dengan semangat yang sangat tinggi, dan emosi yang tidak terkontrol? Mungkin kau adalah teman di masa yang amat sangat lampau.

Untuk memikirkan bagaimana  masa depanku, aku selalu tertarik ke masa lalu. Masa dimana aku ingin ubah namun tak bisa. Memikirkan masa lalu bagiku seperti tidak ada habisnya. Karena setiap nano meter dari memori menyakitkan yang lalu ingin ku hapus.

Namun aku tau aku bodoh jika meyakini itu. Pernah ku bilang pada orang tuaku andaikan aku terkena suatu penyakit yang membuatku lupa, hilang ingatan. Orangtuaku marah seketika itu. Aku mengangis menitikan air mata, mereka menangis dalam diam. Jika ku ingat lagi sekarang, aku tau apa yang aku ucapkan pada saat itu adalah hal yang bodoh, dan aku berharap Tuhan tidak mendengar itu, walaupun aku tau pasti Tuhan dan malaikat-Nya mendengar hal itu.

Melewati lorong waktu yang kubuat membuat seluruh energiku habis. Aku tau hal tersebut sangat tidak berguna, namun ku tidak tau selalu ada gravitasi yang menarik diriku untuk terus masuk dalam lorong itu, walaupun aku tidak mau. Mungkin aku belum berdamai dengan diriku sendiri, dan mungkin ada hal yang belum terselesaikan sehingga aku terus menerus tertarik dalam lorong tersebut.

Sekarang, aku masih berusaha untuk mencari kedamaian dalam diriku, dan terus meyakinkan diriku sendiri bahwa semua yang terjadi pasti berakhir dengan bahagia.

Sekarang, dengan takdir yang aku hadapi, takdir yang membuatku menjadi manusia yang berusaha untuk menjadi manusia yang lebih baik dari hari ke hari, aku ingin berterimakasih.

Terimakasih atas hidup yang indah ini, Tuhan, yang membuatku percaya bahwa setelah setiap jalanan berbatu, selalu ada taman berbunga yang indah dihiasi pelangi membujur dari timur ke barat di ujung jalan sana.

Tuhan selalu punya cara untuk menunjukan kasih sayang-Nya, asalkan manusia percaya.

Dan aku percaya,

aku tidak ingin menangis lagi.



nb ;
Terimakasih sahabat dan keluarga yang telah menemaniku selama ini dengan cinta dan kasih. Semoga kita semua berkumpul kembali dalam kehidupana abadi, karena mungkin disana aku akan kesepian tanpa kalian.

Untuk sahabatku yang pernah bertanya apa arti gengsi, yang tempo hari aku janjikan untuk kutulis di blog tapi tidak bisa kutepati, semoga jawaban yang aku berikan (walaupun lewat jaringan pribadi) menjadi sedikit pencerah. Dan terimakasih atas dukunganmu selama ini, aku tau sahabat, walaupun kamu, dan kalian jauh, kalian akan selalu ada. Terimakasih :)

1 komentar: