Dalam postingan kali ini, aku mau cerita tentang pengalaman ramadhan (on going sebenarnya hehe) tahun ini, dimana ramadhan kali ini keluarga kami diberikan nikmat (dalam bentuk cobaan) dari Allah.
Cerita ini diawali dari telepon ibu di pagi buta, saat sahur pada ramadhan hari kedua. Lewat telepon, ibu memberitahu bahwa bapak terkena serangan jantung dan dirawat di rumah sakit di Kuningan, (karena pada saat terjadinya serangan jantung, bapak dan ibu sedang berada di Kuningan, jadi dilarikan ke RS Kuningan dulu). Pada saat itu, entah apa yang terlintas di pikiran, ada rasa sedih, bingung (karena yeah, masih UAS pada saat itu), atau rasa apalah itu yang aku sendiri bingung untuk mendefinisikannya. Pokoknya semua emosi negatif berkecamuk di dalam diri waktu itu.
Long story, setelah 6 hari dirawat di Kuningan, kondisi bapak tidak kunjung membaik, yang ada justru kondisi bapak drop waktu itu. Akhirnya dirujuklah bapak ke RS Kariadi di Semarang.
Long story lagi (pokoknya panjang lah kalo diceritain gimana lelahnya berada di RS selama itu), selama 8 hari bapak dirawat di RS Kariadi. Di RS itu juga Bapak diberi tindakan berupa pemasangan ring 2 biji.
Alhamdulillah selama di Semarang, banyak pihak yang memberi dukungan, baik fisik maupun non fisik kepada bapak dan keluarga. Seharusnya ini meringankan beban yang dirasakan bapak, ibu dan juga aku. Tapi entah kenapa sampai saat ini ada rasa sedih yang nggak bisa dihilangkan dari dalam diriku sendiri,
Yap, rasa sedih itu adalah rasa sedih karena tidak bisa menikmati ramadhan seperti biasanya.
Semenjak bapak pulang, banyak penyesuaian yang harus dilakukan di rumah. Mulai dari penyesuaian fisik rumah seperti letak perabot yang harus memfasilitasi mobilitas bapak, sampai penyesuaian non fisik seperti pengaturan jadwal makan dan minum obat. Penyesuaian yang dilakukan tidak cukup sampai situ. Kami, ibu dan anak-anak beliau juga harus menjaga perilaku kami supaya tidak menambah pikiran bapak yang bisa berisiko membuat bapak mengalami serangan lagi. Pernah suatu hari ketika aku kebanyakan tidur, ibu menceramahiku karena bapak mengeluh sama ibu kenapa anak-anak kebanyakan tidur. Itu cuma satu dari keluhan-keluhan bapak lainnya.
Aku sendiri tidak bisa menyalahkan bapak, karena aku paham bapak berprilaku seperti itu bukan berdasarkan kesadaran bapak sendiri. Bapak yang aku kenal sehari-hari juga bukan bapak yang sekarang kami hadapi. Mungkin rasa sakit yang bapak rasakan sudah mengalahkan bapak yang dulu sangat kuat dan tegar.
Suatu hari, ibu menceramahi lagi suatu hal dari sekian ratus ceramahnya (yang aku paham pasti ibu juga merasakan kelelahan, bahkan lebih lelah dari diriku), "namanya juga takdir, teh"
Iya, aku tau ini takdir, ucapku dalam hati.
Tapi kan ini takdir yang sebenarnya bisa dicegah! Andai saja bapak tidak merokok, andai saja bapak tidak suka begadang, dan andai saja bapak rajin olahraga, tentu saja mungkin keadaannya bisa berbeda dari sekarang.
Mungkin saja kita sekeluarga bisa bertarawih bersama ke masjid seperti biasa, mungkin saja kita sekeluarga bisa berbuka sesekali di luar bersama, dan pengandaian-pengandaian lain yang aku buat.
Tetap saja, keadaan yang saat ini merupakan keadaan yang harus dihadapi, bukan?
Mungkin Allah sayang pada keluarga kami sehingga kami dihadapkan dengan cobaan seperti ini, supaya kami sekeluarga tau betapa nikmat yang sederhana yang kami rasakan di ramadhan-ramadhan seperti biasa merupakan nikmat yang harus disyukuri. Karena mungkin tidak setiap tahun kami, dan kita semua bisa merasakan nikmat yang sederhana itu.
Mungkin Allah memberi teguran supaya kita bisa lebih mensyukuri nikmat yang sederhana itu kelak. Mungkin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar