Setiap perjalanan memiliki hikmahnya sendiri, termasuk dalam perjalanan Semarang-Jakarta yang cukup rutin ku lakukan dengan kereta.
Dalam sebuah perjalanan, pernah ku duduk dikelilingi sekelompok rekan kerja yang pergi berlibur bersama. Keakraban mereka begitu terasa dari lelucon yang mereka lontarkan satu sama lain. Meski aku satu-satunya orang asing dalam kelompok mereka, tapi aku tidak merasa begitu terasing karena sesekali mereka juga melontarkan lelucon padaku.
Dalam perjalanan yang lain, pernah ku duduk di depan sepasang kekasih. Mereka begitu saling menyayangi, terlihat dari cara mereka menatap satu sama lain diiringi dengan kata cinta yang diselipkan dalam percakapan mereka. Bahkan mereka berpegangan tangan dengan jemari yang bertautan ketika mereka tertidur di kereta. Aku yang sendirian hanya bisa tersenyum melihat tingkah mereka.
Pernah juga, dalam suatu perjalanan, ku duduk di depan seorang ibu tangguh, seorang ibu tunggal yang hendak melihat sidang skripsi anaknya yang berkuliah di Jakarta. Pengalaman yang beliau ceritakan sangat menggambarkan betapa kerasnya perjuangan beliau untuk membukakan jalan kepada anaknya untuk menjadi orang sukses. Pesan beliau kepada ku yang masih ku ingat, "Kamu kalau sudah menginjakan kaki di Jakarta, jangan pernah pulang ke Semarang. Tempaan di Jakarta bisa membuatmu menjadi apa saja, di Semarang hidup tidak ada tantangan.". Mendengar beliau, aku hanya tersenyum mengiyakan, walau dalam hati agak memberontak. Hipokrit memang, diriku ini.
Namun, ada suatu percakapan yang membekas dalam benakku sampai sekarang. Percakapan itu adalah percakapan dengan seorang pria paruh baya yang duduk di depanku dalam perjalanan kereta Semarang-Jakarta saat statusku menjadi mahasiswa tingkat akhir. Beliau bekerja sebagai karyawan pada salah satu perusahaan konstruksi yang ada di Ibu kota, namun sebelumnya, beliau merupakan pekerja lapangan yang sudah berkeliling Indonesia, di antaranya Kalimantan dan Nusa Tenggara. Setelah berbincang basa-basi sepatah dua patah kata, beliau bertanya suatu hal padaku,
"Habis lulus mau ngapain rencananya?"
"Mungkin mau cari pengalaman dulu Pak di Jakarta, mungkin sekitar setahun, setelah itu melanjutkan S2"
"Kenapa harus cari pengalaman di Jakarta?"
Aku mengangkat alis, mencoba memberi kode untuk menjelaskan arti dari pertanyaan yang diajukan oleh beliau. Beliau kemudian menegakkan posisi duduk dari yang tadinya bersandar di kursi, berusaha untuk membuat suasana menjadi serius.
"Iya, kenapa Mbak harus kerja di Jakarta untuk cari pengalaman?"
"Karena menurut saya, Jakarta itu Ibu kota, banyak kesempatan di sana untuk cari pengalaman"
Beliau mengangguk-angguk, kemudian berucap,
"Menurut saya ya Mbak, cari pengalaman itu nggak harus di Jakarta. Mbak bisa cari pengalaman dimanapun, dimanapun! Justru dengan banyaknya pengalaman (selain di Jakarta), Mbak jadi paham, sebenarnya Mbak bekerja untuk apa? Apa pekerjaan yang memang cocok untuk Mbak? Apa nilai dari yang Mbak kerjakan nanti?"
Beliau kemudian menghela napas, "Sekarang ini orang di Jakarta ini kebanyakan cari uang Mbak, mungkin cuma segelintir yang niatnya benar-benar untuk cari pengalaman. Nah, Mbak cari apa ketika kerja di Jakarta nanti?"
Giliran aku yang menghela napas. Kemudian ku balik bertanya, "Terus, Bapak cari apa (ketika) kerja di Jakarta?"
Beliau tersenyum simpul, "Yaa, Saya realistis aja Mbak, keluarga saya butuh uang. Anak saya sekarang mau masuk kuliah. Pekerjaan saya di Jakarta sudah stabil, sedangkan untuk cari kerja di Semarang, perlu mulai lagi dari awal dan uangnya nggak banyak. Kalau rindu keluarga, saya tinggal pulang saja ke Semarang.".
Aku hanya mengangguk mengiyakan, tapi bukan sebuah anggukan yang munafik. Aku juga ikut mencerna ucapan beliau. Mungkin beliau benar, beberapa dari kita yang ada dalam kereta ini adalah orang-orang yang terjebak dalam mimpi yang ditawarkan oleh Ibu kota, orang-orang yang harus mengejar kereta pada hari Jumat hanya untuk sekadar melepas rindu dengan sanak saudara dan kembali mengejar kereta pada hari Minggu untuk kembali bertarung keesokan harinya.
Dan mungkin, beberapa dari kita yang ada di kereta ini juga mempertanyakan hidup kita, sebenarnya apa yang kita cari di Ibu kota?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar