Jumat, 08 Maret 2019

Tai Kucing

Dulu aku punya seekor kucing.

Ralat : dulu ada seekor kucing yang rutin main ke rumahku sehingga aku mengklaim bahwa dia adalah milikku.

Sebagaimana kucing liar biasanya, awalnya dia datang ke rumahku untuk mencari makan. Sekali dua kali ku beri dia sisa-sisa makanan, baik itu berupa tulang ikan ataupun ayam yang ada di rumah. Semakin lama aku semakin sayang padanya. Kadang ku elus tubuhnya yang berbulu hitam putih dan ku ajak berdansa (read : menyiksa dengan memaksanya berjalan dengan kedua kaki belakang sedangkan kedua kaki depannya ku genggam). Sesekali aku menggumamkan lagu dansa khas anak kecil sambil berpura-pura berdansa dengannya, sedangkan dia agak pasrah dengan mata lucunya menatap padaku.

Merasa diterima di rumah, ia pun mulai tinggal lebih lama di rumahku dari biasanya. Mungkin bisa dibilang, dia juga mulai menganggap rumahku sebagai rumahnya.

Sampai pada suatu malam, ketika aku sudah merasa lelah dan hendak beristirahat, aku menemukan sesuatu diatas kasurku. Ku teliti dan ku cermati, ternyata itu adalah seonggok tai kucing. Ya, dia meninggalkan kotorannya di atas tempat peristirahatanku.

Sontak ku mengamuk, ku menangis. Sedangkan orang tuaku hanya menggeleng-geleng melihat anak perempuan kecilnya mengamuk karena ada tai kucing di atas kasurnya.

Pada saat itu aku merasa dikhianati oleh si kucing, karena ku berpikir aku sudah memberikan kasih sayangku padanya, memberinya makan dan mengelusnya. Akan tetapi dia membalasnya dengan memberikan tainya diatas kasurku.

Sejak saat itu aku tidak bisa mengontrol emosiku bila bertemu dengannya. Kadang ku memakinya, mengusirnya, atau bahkan pernah melemparnya ke luar rumah. Penyiksaan padanya ku lakukan sampai pada akhirnya dia tidak pernah lagi datang ke rumahku,

...dan aku sadar, aku merasa kehilangan.

Setelah dewasa, kadang ku berpikir, tidak seharusnya aku berlaku kasar padanya hanya karena satu kesalahannya. Mestinya aku bisa memaafkannya dan kembali menikmati sore kami dan bermain bersama. Atau mungkin seharusnya aku meminta orang tuaku untuk membelikan wadah berak kucing dengan pasirnya, kemudian mengajarinya untuk berak pada tempatnya,

aku seharusnya bisa lebih menerima dia dengan apa adanya,

karena tai kucing bisa dibersihkan, tapi kucing yang bisa menyentuh hatimu mungkin hanya akan datang sekali dalam seumur hidupmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar