Jumat, 06 Juli 2018

Kembali ke Gontor

21 Januari 2018

Pada akhirnya, semua yang terbaik dalam hidup akan kita syukuri apabila kita menyadarinya. 

Subuh itu, aku sampai ke gerbang pondok dengan mobil travel. Sebelum masuk, aku melihat sejenak bangunan pondok. Tidak banyak berubah, hanya terlihat sedikit lebih megah. Mungkin karena lampu yang jumlahnya tambah banyak, bentuk pagar yang baru, atau warna cat yang masih cemerlang.

Aku pun menyapa santriwati yang bertugas menjaga gerbang pondok, memberitahunya bahwa aku adalah tamu yang hendak berkunjung. Mereka mempersilakan ku untuk masuk ke ruang penerimaan tamu pondok.

Sayup-sayup terdengar suara syair Abu Nawas dari speaker pondok, tanda bahwa solat jamaah subuh akan dimulai sebentar lagi. Sambil memejamkan mata, ku ulang-ulang syair itu di kepalaku. Ternyata aku masih hapal. Tak terasa air mata mengalir, membayangkan betapa syahdunya dulu syair ini dilantunkan ketika kami para santriwati bersiap-siap pergi ke masjid untuk sholat berjamaah.

"Ilaahilastu lil firdausi ahla, wa laa aqwaa 'ala annaaril jahiimii"

Ya Tuhan, sesungguhnya aku bukanlah ahli surga, tetapi aku juga tak kuat akan api neraka.

Setelah sholat subuh berjamaah, aku berjalan-jalan sekeliling pondok sambil menunggu temanku yang sudah menjadi ustadzah keluar ke ruang penerimaan tamu untuk menemuiku. Aku pun berhenti di saung tempat santriwati penjaga gerbang. Aku sedikit berbincang dengan mereka. Mereka memanggilku ustadzah begitu tau aku berada dalam satu angkatan yang sama dengan temanku, ustadzah mereka. Padahal jika mereka tau kebenarannya, aku tidak pernah menyelesaikan pendidikanku di pondok itu. Tapi rasa senang karena dipanggil ustadzah mengurungkanku untuk memberitahukan kebenarannya pada mereka. Yang mereka tau hanyalah tentang aku yang sekarang berkuliah di jurusan psikologi salah satu kampus negeri di Ibu kota.

Beberapa lama kemudian, temanku keluar menemuiku. Rasa rindu yang membuncah akhirnya terbayar setelah kami berpelukan erat untuk yang pertama kalinya setelah beberapa tahun yang terlewat. Kami pun berbicang mengenang masa lalu sambil bertanya tentang masa depan kami masing-masing.

Satu hal yang aku sadari setelah berbincang; pada akhirnya Allah memang memberikan tempat yang terbaik bagi kami masing-masing. Mungkin aku tidak akan bisa mengenal sistem pendidikan di salah satu kampus negeri terbaik di Indonesia apabila aku masih berada di pondok. Mungkin aku akan menjadi ustadzah, seperti temanku, dan mengajarkan ilmu yang kami miliki kepada santriwati-santriwati yang ada disana.

Memang mungkin mimpiku menjadi ustadzah telah sirna, tapi aku bisa membuat mimpi-mimpi lain. Memang mungkin mimpiku untuk melanjutkan pendidikan di Mesir tidak bisa dicapai lagi, tapi aku masih punya pilihan untuk memilih negara yang akan menjadi tujuan perjalananku selanjutnya.   

Pertemuan yang singkat ini akhirnya harus disudahi karena temanku harus mengajar salah satu kelas. Aku pun berpisah dengannya, sambil menahan air mata. Aku bahkan tidak bisa menilai apakah emosi ini termasuk emosi sedih atau haru ketika aku pergi meninggalkan pondok untuk sekali lagi, dan mungkin kali ini untuk selamanya.

Kini hanya syukur yang bisa ku andalkan, bersyukur atas kehendak-Nya untuk memberiku kesempatan dalam merekonstruksi mimpiku kembali, meski seringkali aku hilang arah dan tujuan sambil berlinang air mata ketika menyusun mimpi-mimpi yang bercerai berai ketika aku meninggalkan pondok ini 8 tahun yang lalu.

Tapi siapa yang tau apa kejutan yang akan terjadi selanjutnya?

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ya Allah, ajarkan kami untuk bersyukur atas nikmat-Mu yang telah Engkau berikan pada kami dan kepada orang tua kami, dan bimbinglah kami untuk terus beramal solih yang Engkau ridhoi, dan masukanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang Engkau beri rahmat dan ke dalam golongan hamba-hambaMu yang beramal sholih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar