Jumat, 06 Juli 2018

Pergi dari Gontor

28 Desember 2009

Seberapapun kita menyukai sesuatu hal, Allah selalu tau hal yang terbaik bagi kita. 

Siang itu, sebelum pergi kembali ke kelas siang, aku bertemu adikku yang menunggu di depan kamar di pondok. Aku terkejut karena tidak menyangka akan mendapatkan kunjungan orang tua di siang hari sekolah seperti ini. Adikku menyerahkan sebuah surat kepadaku dari Ibu.

Teh, teteh pulang ya hari ini, kemasi barang-barangnya. 

Dalam kekalutan, aku mengajak adikku untuk menemui Ibu di ruang penerimaan tamu pondok. Sambil menangis, aku bertanya, "Mengapa harus sekarang?"

"Teh, memang ketika pertama kali kita berpisah dengan hal yang kita sukai itu sakit, tapi nanti Teteh akan lega karena lepas dari semua beban ini", kata Ibu, sambil menahan air matanya.

Jadilah, siang itu, aku dan Ibu pergi ke ruangan ustadzah wali kelasku untuk mengutarakan maksud kami, yaitu rencana kepindahanku dari pondok ini ke sekolah lain.

Dengan berat hati, ustadzah wali kelasku menanyakan alasannya. Ah, terlalu rumit untuk dijelaskan kepada ustadzah. Walaupun pada akhirnya, ibuku menjelaskannya ke ustadzah. Masalah keluarga, singkatnya. Karena mengurusi berkas dan administrasi untuk pindah sekolah, aku bolos kelas siang itu.

Berita mengenai kepulanganku tersebar juga kepada orang-orang sekitarku. Mereka kaget bahwa seorang Fadiya, anak yang tak pernah punya masalah, ingin keluar dari pondok. Kepada orang-orang terdekatku, aku meminta maaf karena tidak bisa bertahan lebih lama lagi ketika mereka bertanya, "Fadiya kenapa harus pulang?"

Bila ingin ku ceritakan, sungguh aku akan menceritakannya. Akan tetapi kejadian yang membuatku bersedih masih membekas dan membungkamku sampai saat kepulanganku tiba. Kejadian yang membuatku sadar bahwa luka yang ditorehkan dalam hati seseorang bisa membekas lama, dan membuat luka itu menjadi duri dendam yang akan melukai orang lain pada masanya. Luka yang membuat seseorang bisa menyebarkan fitnah yang bisa menjatuhkan orang lain.

Malam itu, setelah selesai mengurusi administrasi, teman-teman menahan koperku, beberapa dari mereka menangis. Aku pun menangis, meski tangisanku dalam hati. Ah, betapa aku ingin beritahukan pada mereka bahwa aku masih ingin belajar bersama di pondok ini bersama mereka, mencapai impian kita bersama sampai menjadi lulusan yang memiliki ilmu agama yang dalam.

Setelah berpamitan dalam waktu yang lama sambil meyakinkan pada teman-teman bahwa aku akan kembali, aku memasuki mobil, bersiap untuk pergi meninggalkan tempat dimana aku memupuk mimpiku.

Mobil mulai melaju, meninggalkan gerbang pondok tercinta. Aku membuka kaca mobil, membiarkan angin malam menyapa wajahku, membiarkanku untuk menikmati angin malam pondok, mungkin untuk yang terakhir kali. Aku pun melihat bangunan pondok yang semakin lama semakin tidak terlihat dari jangkauan mata.

Selamat tinggal, aku akan kembali menyapamu lagi. 

2 komentar: