Jadi, pada awal November, aku sudah memesan tiket kepulangan dari Depok ke Semarang tanggal 22 Desember 2016. Akan tetapi, karena kelelahan yang ku alami, aku mulai mengalami delusi (?) bahwa aku pulang tanggal 20 Desember, sehari setelah UAS selesai. Delusi itu kusebarkan ke teman-teman dan orang-orang sekitar, jadi yang mereka tau adalah aku pulang tanggal 20 Desember jam 2 siang.
Ketika tanggal 20 Desember, bertepatan dengan acara bersih-bersih ruang BEM dan Student Center di pagi hari, aku pamitan ke teman-teman di BEM. Mereka pun bilang "hati-hati fad, salam buat keluarga". Dengan semangat menggebu, aku menyiapkan barang-barangku untuk pulang untuk siang hari.
Beberapa saat sebelum selesai packing, aku ingin memastikan kembali tiket yang aku punya. Kemudian aku membuka email konfirmasi pembayaran dari PT KAI, dan ternyataaa.. aku pulang tanggal 22 Desember. Seperti orang yang habis mabuk (nggak pernah ngerasain juga sih), aku kebingungan. Seketika itu orientasiku akan waktu berantakan (lebay). Lalu aku sadar bahwa awal November memang aku pesan tiket tanggal 22 Desember dengan asumsi aku bisa menikmati liburan beberapa hari terlebih dahulu di Depok. HAHA, makan tuh tiket faaad.... :""
Okay, mulai refleksinya..
Menurutku, tahun ini merupakan tahun dimana aku merasakan banyak kegagalan.
Aku gagal mencapai beberapa target kinerja di BEM, aku gagal memenangkan lomba cerdas cermat di Unpad, aku gagal menjadi pengajar GUIM (Gerakan UI Mengajar), dan kegagalan- kegagalan lainnya.
Mengetahui bahwa dirinya gagal, siapa yang tidak sedih?
Kesedihan itu beberapa kali membuatku merasa bahwa aku tidak memiliki kompetensi yang seharusnya. Aku merasa bodoh karena tidak menang lomba, merasa tidak begitu cukup berkompeten untuk menjadi pengajar GUIM, dan perasaan- perasaan lain yang semakin membuat diriku merasa tidak begitu berharga.
Ketika aku bercerita dengan beberapa temanku tentang kegagalan ini, mereka memiliki pendapat yang berbeda. Salah satu teman bilang bahwa kegagalan yang kita alami bukanlah karena kita tidak berkompeten, ada banyak faktor yang berpengaruh. Contohnya ketika aku tidak diterima sebagai pengajar, temanku berkata ada berbagai hal yang panitia dan tim penilai pertimbangkan. Salah satu teman juga berkata, mungkin aku ragu dengan diriku sendiri. Keraguan ini membuat diriku tertahan untuk terus maju ke depan.
Mungkin ada hal yang bisa aku syukuri dibalik kegagalan-kegagalan itu ; aku mencoba hal baru. Aku berani untuk keluar dan menantang diriku sendiri dengan hal-hal yang belum pernah aku lakukan sebelumnya.
Dari kegagalan, kita bisa belajar bahwa segala hal yang kita inginkan tidak bisa kita dapatkan secara instan. Ada perjuangan yang harus dilalui untuk mencapai hal tersebut. Kegagalan mengajarkan kita untuk memilih apakah kita akan terus bertahan untuk tetap berjuang, atau berhenti berjuang dan pada akhirnya tidak mendapatkan apa-apa.
Dan mungkin aku memilih untuk tidak berhenti berjuang.
Semoga 2017 menjadi momen bagi diri kita untuk berubah ke arah yang lebih baik dari sebelumnya.
Bersama teman-teman paguyuban Lawang Sewu dalam roadshow ke SMA di Semarang |
Bersama teman-teman yang sama-sama tersesat di PAUD, Shirokuman :) |
Bersama dengan teman-teman BEM pada saat kunjungan ke LM Psikologi UGM :) |
Bersama dengan teman-teman psikologi mendukung anak-anak COH pada saat Pagelaran Bocah :) |
Bersama dengan teman-teman BEM meramaikan kegiatan Psyware #MentalHealthDay |
Bersama dengan kontingen psikologi untuk Olimpiade UI cabang Tekwondo #BanggaJadiManajer |
Bersama dengan teman-teman Sospol di Kebun Raya Bogor |
Kumpul terakhir bersama dengan teman-teman yang selama ini mendukung dalam suka-duka di BEM Psikologi 2016. Thanks for the moment :) |